Secara tegas hak perempuan untuk berpolitik dijamin dalam Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW). Konvensi ini telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita atau lebih dikenal dengan Konvensi Perempuan pada 24 Juli 1984.
Sebelumnya Pemerintah Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada 29 Juli 1980 saat mengikuti Konferensi Perempuan se-Dunia ke II di Kopenhagen. Kewajiban negara yang terkait dengan hak politik perempuan juga terdapat dalam Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 23 (Sidang ke-16 Tahun 1997) tentang Perempuan dalam Kehidupan Publik. Komite ini memberikan rekomendasi bahwa negara peserta wajib: 1) menjamin dalam konstitusi dan peraturan perundangundangan negaranya, prinsip-prinsip Konvensi yang berkaitan dengan Pasal 7 dan 8 Konvensi Perempuan;Â
2) menjamin bahwa partai politik dan serikat buruh tidak melakukan diskriminasi terhadap perempuan berkaitan dengan Pasal 7 dan 8 Konvensi Perempuan; 3) melakukan identifikasi dan melaksanakan tindakan khusus sementara untuk menjamin partisipasi yang setara antara perempuan dan laki-laki; 4) adanya kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk menduduki jabatan publik yang didasarkan atas pemilihan (public elected positions).
Regulasi terkait usaha meningkatkan partisipasi politik perempuan termaktub dalam UU No. 2 Tahun 2011 Pasal 20 tentang Partai Politik yang menyebutkan bahwa kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur dalam AD/ART Partai Politik masing-masing.Â
Kemudian dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 173 ayat (2) juga dikatakan bahwa salah satu persyaratan agar partai politik dapat menjadi peserta pemilu ialah apabila di dalam kepengurusan partai terdapat minimal 30% keterwakilan perempuan di tingkat pusat.Â
Selanjutnya pengaturan agar perempuan dapat semakin banyak berkiprah di ranah legislatif juga diupayakan dengan aturan mengenai kuota minimal 30% keterwakilan perempuan untuk bakal calon peserta pemilu sebagaimana yang termaktub dalam pasal 245 UU No. 7 Tahun 2017. Tak hanya itu, zipper system yang mengatur bahwa harus terdapat sekurang-kurangnya satu orang perempuan di setiap tiga bakal calon juga menjadi regulasi yang mendukung tingkat partisipasi perempuan dalam ranah politik.
Hasil Pemilu Legislatif 2019 menunjukkan adanya kenaikan terhadap jumlah partisipasi politik perempuan jika dibandingkan dengan hasil Pileg 2014. Caleg perempuan terpilih mengalami kenaikan sebesar 3% dari 97 (17%) ke 117 (20%).Â
Hal ini menunjukkan bahwa regulasi terkait affirmative action cukup berhasil dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan. Nasdem menjadi satu-satunya partai yang berhasil memenuhi kuota keterwakilan 30% perempuan, yakni sebanyak 32% wakil perempuannya telah berhasil duduk di parlemen. Meskipun jumlah anggota legislatif perempuan di parlemen telah mengalami kenaikan sebesar 3%, namun representasi perempuan di parlemen dinilai belum mampu memberikan dampak positif terhadap produk legislasi yang berpihak pada kepentingan perempuan dan kelompok marginal.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H