Inklusif merujuk pada anti-diskriminasi terhadap perbedaan atau keberagaman. Inklusif sebenarnya tidak memiliki kriteria tertentu dalam menerapkan anti-diskriminasi. Melainkan, seluruh keberagaman diperlakukan tanpa diskriminasi. Namun pada puncaknya, dalam lingkup pendidikan khususnya di Indonesia terdapat puncak kriteria dari pendidikan inklusif ini ialah anak berkebutuhan khusus dan berbakat istimewa. Puncak kriteria tersebut merujuk pada kelompok yang paling sering mendapatkan tindakan diskriminatif. Banyak anak berkebutuhan khusus mendapatkan tindakan yang tidak baik, sehingga orang tua banyak memilih menyekolahkan anaknya di Sekolah Luar Biasa sedangkan mereka memiliki kesempatan untuk belajar bersama anak-anak seumurannya.
Perbedaan keragaman pada setiap negara tentu akan berbeda pula inklusif yang diterapkan di negaranya, khususnya pada lingkup pendidikan. Di Amerika Serikat sendiri dengan keberagaman yang berbeda, menerapkan Kurikulum Inklusif LGBTQ. Sedangkan di Indonesia sendiri LGBTQ telah menjadi hal yang menyimpang dan terdapat larangan terhadap LGBTQ pada undang-undang khusus. Namun di Amerika Serikat dengan norma dan aturan yang berbeda memfasilitasi kurikulum yang inklusif LGBTQ sehingga peserta didik LGBTQ merasa lebih aman, nyaman, dan merasa dihargai dalam kegiatan belajar. Tentu perbedaan tersebut menjadi hal yang menarik untuk dibahas sebab hal yang di negara ini menyimpang bahkan dilarang, di negara lain diperhatikan keamanan serta kenyamanan khususnya dalam belajar.
Snapp, et al. (2015) dalam artikel penelitiannya menerangkan Kurikulum Inklusif LGBTQ menekankan pada pentingnya menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan mendukung bagi peserta didik LGBTQ. Strategi yang digunakan di antaranya, kebijakan anti-pelecehan, dukungan guru, dan kurikulum inklusif LGBTQ. Pengimplementasian kurikulum tersebut memiliki potensi untuk menciptakan lingkungan belajar yang adil. Pendidik dengan pelatihan dalam mengimplementasikan kurikulum ini akan menunjang pelaksanaan dengan baik.
Fine (2017) membahas mengenai buku "Safe Is Not Enough: Better School for LGBTQ Students" yang ditulis oleh Michael Sadowski. Dalam pembahasan yang ditulisnya, keamanan merupakan hal yang penting. Meskipun begitu, keamanan tidak cukup untuk mendukung peserta didik LGBTQ dengan baik. Pendidik harus lebih daripada memberikan rasa aman, Namun juga melakukan penyesuaian terhadap kurikulum dan budaya sekolah sehingga secara aktif memberikan dukungan kepada minoritas seksual dan gender. Sekolah dasar dan menengah di Amerika telah menciptakan lingkungan yang inklusif bagi peserta didik LGBTQ. Dengan menggabungkan isu-isu terkait LGBTQ dengan kurikulum mereka dan menciptakan lingkungan yang membuat peserta didik terlibat dalam pemikiran kritis dan eksplorasi identitas. Sekolah-sekolah yang melayani peserta didik beragam (inklusif) menawarkan program-program yang dapat diakses oleh peserta didik LGBTQ. Selain itu, disajikan contoh dalam buku tersebut berupa fasilitas toilet bagi transgender. Pendidik harus mampu mendorong perkembangan peserta didik LGBTQ dan menciptakan sekolah yang inklusif. Sebab minoritas seksual dan gender memiliki hak untuk berkembang pula, tak hanya bertahan hidup, serta mereka memiliki kemampuan dan potensi layaknya individu mayoritas.
McHaelen, et al. (2020) membahas pula hal yang selaras dengan pembahasan pada buku Michael Sadowski dan khususnya pada artikel jurnal yang diriviu. Â Mewujudkan lingkungan pendidikan yang aman dan inklusif bagi peserta didik LGBTQ+ di semua tingkatan pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Peserta didik LGBTQ+ memiliki kekhawatiran dan hambatan yang berbeda-beda pada setiap tingkatan pendidikan, sehingga perlu adanya penyesuaian dalam mengatasi perundungan dan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi peserta didik LGBTQ+.
Pada tingkat sekolah dasar, fokus kurikulum inklusif LGBTQ+ ini ialah mengintegrasikan dan menerima struktur keluarga yang beragam dan anak-anak yang kreatif, khususnya dalam hal gender (McHaelen, et al., 2020). Pendidik dapat menggunakan buku dan cerita yang selaras dengan usia peserta didik untuk memberikan informasi dan pemahaman mengenai keberagaman, serta mengimplementasikan program sosial untuk membantu menciptakan rasa memiliki dan mengurangi ejekan (McHaelen, et al., 2020).
Pada tingkat menengah, kurikulum inklusif LGBTQ+ merujuk pada program dukungan dan sumber daya komunitas (McHaelen, et al., 2020). Perlu adanya yang diatasi berupa pemahaman terhadap maskulinitas atau feminitas yang berhubungan dengan seksualitas dan mendorong pertumbuhan moral serta pemahaman terhadap perspektif yang berbeda (McHaelen, et al., 2020).
Pada sekolah menengah atas dukungan peserta didik dalam mengembangkan dan membangun identitas mereka sebagai individu seksual dan berjenis kelamin. Adapun yang dibahas berkaitan dengan dampak stres, pelecehan, dan kurangnya rasa memiliki pada peserta didik LGBTQ+ serta memperbaiki program informasi, rencana pelajaran, dan proyek yang mampu menciptakan lingkungan inklusif bagi peserta didik di sekolah menengah atas (McHaelen, et al., 2020).
Perbedaan terlihat pada implementasi di pendidikan tinggi, fokus kurikulum inklusif LGBTQ+ merujuk pada menciptakan lingkungan kampus yang inklusif dan mendukung kesejahteraan holistik Mahasiswa LGBTQ+. Â Adapun yang dibahas mengenai pentingnya kebijakan dan prosedur, advokasi dan sumber daya, praktik perekrutan inklusif, kebijakan perawatan kesehatan, pendidikan dan pelatihan. Serta keterlibatan kampus baik dalam kegiatan di luar kurikulum, layanan karier, kegiatan Mahasiswa, olahraga, dan kesempatan studi di luar negeri (McHaelen, et al., 2020).
Berdasarkan dua sumber yang membahas mengenai Kurikulum Inklusif LGBTQ atau LGBTQ+ selaras dengan artikel jurnal utama yang diriviu. Bahkan dalam strategi implementasi disajikan dalam buku juga sumber-sumber lain sehingga Kurikulum Inklusif LGBTQ atau LGBTQ+ dapat diimplementasikan dengan baik. Bukan dipandang lagi sebagai hal yang menyimpang dan dilarang, melalui kurikulum tersebut peserta didik LGBTQ atau LGBTQ+ diberikan rasa aman dan nyaman untuk tetap mampu berkembang dan mengembangkan potensi seperti peserta didik mayoritas.
Rahim (2016) membahas pendidikan inklusif yang merupakan strategi dalam mewujudkan pendidikan untuk semua, khususnya di Indonesia. Terdapat fakta bahwa tidak semua anak memiliki akses ke pendidikan karena kondisi ekonomi, fisik, atau psikologis, terutama anak-anak dengan disabilitas. Indonesia merupakan negara yang beragam, sehingga memupuk rasa pluralism dan toleransi melalui pendidikan menjadi hal yang penting. Pendidikan inklusif harus berdasarkan pada prinsip kesetaraan, non-diskriminasi, dan penghargaan terhadap keragaman. Sekolah yang inklusif harus mengakui dan memberikan respon kebutuhan yang beragam dari peserta didik, akomodasi gaya belajar yang berbeda, dan mempromosikan kerjasama, serta saling menghargai di antara peserta didik. Pendidikan inklusif bukanlah menurunkan standar namun memastikan bahwa seluruh siswa mendapatkan kesempatan yang sama untuk belajar dan berkembang.