Mohon tunggu...
Jihan NufelQotrun
Jihan NufelQotrun Mohon Tunggu... Mahasiswa - S20191135

Hukum Keluarga, Fakultas Syariah UIN KHAS Jemberr

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perlindungan terhadap Kasus Kekerasan Seksual Anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan

12 Oktober 2021   22:40 Diperbarui: 15 Oktober 2021   10:52 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak adalah amanah dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang harus dijaga, dididik serta diberi kasih sayang yang cukup. Namun, bagaimana apabila seorang anak justru mendapat perlakukan yang tidak baik dari orang tuanya sendiri? Hal ini dialami oleh 3 orang anak dari Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang terduga mengalami kekerasan seksual yang dilakukan oleh ayahnya sendiri. Menurut badan kesehatan dunia, World Health Organization atau WHO, kekerasan seksual dapat diartikan sebagai segala perilaku yang dilakukan dengan menyasar seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, dan memiliki unsur paksaan atau ancaman.

Sebagai seorang ibu melihat kejadian yang menimpa ketiga anaknya, Heni (nama samaran) tentu tidak tinggal diam. Heni melaporkan dugaan kekerasan seksual berupa pemerkosaan yang dialami ketiga anaknya yang masih di bawah umur. Terduga pelaku yang tak lain adalah mantan suaminya, ayah kandung ketiga anaknya, seorang aparatur sipil negara yang punya posisi di kantor pemerintahan daerah. Pelaporan oleh Heni tersebut berawal dari keluhan anak sulungnya yang merasa sakit pada bagian kemaluannya. Namun, ketika ditanya oleh Heni sang anak hanya terdiam. Hingga pada akhirnya sang anak berkata bahwa ayahnya telah melakukan sesuatu pada vaginanya dan begitu pula yang dialami oleh kedua anaknya yang lain. Mendengar hal itu Heni seketika shock dan tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Kemudian Heni memutuskan untuk melaporkan kejadian yang dialami ketiga anaknya ini pada tanggal 9 Oktober 2019 silam ke Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan. 

Apabila ditinjau dari hukum positif di Indonesia, mantan suami atau ayah dari ketiga korban tersebut dapat dikenakan sanksi apabila terbukti telah melakukan kekerasan seksual berupa pemerkosaan terhadap anak dibawah umur. Pengaturan sanksi pidana terhadap pemerkosa anak dalam KUHP terdapat pada Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi: Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup umur 15 tahunkalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara selama-lamanya sembilan tahun. Dan pada Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). 

Buntut dari pelaporan Heni terhadap sang mantan suami awalnya mendapatkan respon positif dari pihak polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang mana polisi saat itu telah melakukan proses penyelidikan. Namun, hanya berselang dua bulan, kasus tersebut dihentikan. Dengan alasan bahwa kasus tersebut dianggap tidak memiliki cukup bukti. Namun, terdapat beberapa pihak seperti LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Makassar menduga bahwa telah terjadi malprosedur yang dilakukan oleh pihak polres Luwu Timur dalam proses penyelidikan dalam kasus ini. Hal ini terkesan seperti terdapat keberpihakan terhadap terlapor, yang mana terlapor sendiri merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) di Luwu Timur dan berteman dengan Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A).

Melalui kacamata analisis penulis, kasus ini perlu dibuka dan dilakukan penyelidikan kembali apabila memang terjadi kejanggalan dalam pemberhentian penyelidikan sebelumnya. Ketika penyelidikan tersebut dibuka kembali, ada beberapa bukti yang hanya bisa diperoleh dari penyelidikan. Hal ini seperti visum pembanding serta keterangan para saksi dan korban. Namun, tidak menutup kemungkinan terdapat bukti-bukti baru yang dapat memperkuat kasus ini sehingga dapat terus diproses sesuai dengan hukum yang berlaku. Kekerasan seksual bukanlah satu perkara yang kecil, karena apabila hal tersebut benar-benar terjadi pada seorang anak yang masih berada dibawah umur, maka sangat berdampak terhadap kesehatan mental dan tumbuh kembang korban. Anak akan menjadi individu yang tertutup, tidak mudah percaya diri, akan mengalami kecemasan, stress berkepanjangan, bahkan berpotensi melakukan tindakan kriminal. Semoga kasus ini segera menemukan titik terang sehingga tidak ada lagi pihak-pihak yang merasa dirugikan. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun