Mohon tunggu...
Jihan ErsaPutri
Jihan ErsaPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah seorang mahasiswa yang memiliki hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Mewariskan Luka: Dampak Perceraian Orang Tua terhadap Ekspektasi Anak pada Hubungan Romantis

14 Juni 2024   12:28 Diperbarui: 14 Juni 2024   13:02 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Love. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Prostooleh

Keluarga merupakan fondasi awal dalam pembentukan karakter atau perilaku anak. Dengan begitu, keluarga mengemban peran yang signifikan untuk menjalankan fungsinya dengan baik. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) telah merumuskan 8 fungsi keluarga, yaitu fungsi keagamaan, fungsi sosial dan budaya, fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi, serta fungsi lingkungan.

Fungsi keluarga sangat berkaitan erat dengan tercapainya kesuksesan dan kebahagiaan pernikahan. Apabila suatu keluarga tidak menjalankan fungsinya dengan baik maka akan menimbulkan suasana yang tidak menyenangkan, seperti kurang harmonisnya hubungan dalam keluarga, renggangnya interaksi antara orang tua dan anak, serta minimnya dukungan dan kehangatan dalam keluarga.

Beberapa penelitian telah mengungkap bahwa sikap orang tua memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap kehidupan anak-anaknya. Artinya, orang tua memegang peran sentral dalam memastikan kelancaran fungsi keluarga dan menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis. Keharmonisan dan kebahagiaan keluarga berawal dari hubungan, interaksi, dan komunikasi antara pasangan suami dengan istri maupun terhadap anak.

Ironisnya di Indonesia sendiri masih banyak terjadi konflik dalam keluarga yang menyebabkan ketidakharmonisan hingga maraknya kasus perceraian. Dilansir dari Antaranews berdasarkan pendataan keluarga pada tahun 2021 Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat bahwa sebanyak 3.172.498 juta keluarga setara dengan 4,79% dari total keluarga mengalami konflik hingga ke tahap perceraian. Angka ini menunjukkan bahwa konflik rumah tangga dan perceraian adalah isu yang cukup signifikan di Indonesia.

Lebih lanjut, Indeks Pembangunan Keluarga (IBangga) juga mencatat detail konflik yang memungkinkan terjadinya perceraian rumah tangga, yaitu 401.007 atau sekitar 0,76% pasangan suami istri mengalami konflik pisah ranjang, kemudian 432.374 atau setara 0,69% pasangan suami istri berkonflik hingga pisah rumah, dan 246.018 atau kira-kira 0,39% menghadapi Konflik Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Angka perceraian di Indonesia menunjukkan peningkatan yang konsisten sejak tahun 2015. BKKBN juga menyebutkan penyebab-penyebab terjadinya perceraian di Indonesia. Ketidakharmonisan menjadi penyebab paling umum dengan 97.615 kasus, faktor ketidakbertanggungjawaban menjadi penyebab terbanyak kedua dengan 81.266 kasus, faktor ekonomi berada di urutan ketiga dengan 74.559 kasus, selanjutnya faktor kehadiran pihak ketiga dengan 25.310 kasus, dan di urutan terakhir ada faktor kecemburuan dengan 9.338 kasus.

Kasus-kasus perceraian tersebut mampu menghadirkan dampak yang sangat kompleks terhadap sikap atau perilaku anak dalam menghadapi hubungan romantis dengan pasangan pada saat anak tersebut beranjak dewasa. Pada fase dewasa awal, seorang individu mengalami perkembangan dalam suatu relasi atau biasanya disebut dengan tahap intimacy vs isolation. Di tahap ini, seorang individu dihadapkan pada sebuah hubungan yang lebih deep dan romantis. Namun, proses membangun relasi romantis ini menjadi cukup rumit bagi seorang anak yang berada dalam keluarga kurang harmonis atau bahkan orang tuanya telah bercerai. Hal ini terjadi karena kepercayaan diri yang rendah, ketakutan akan komitmen, serta kesulitan dalam berkomunikasi dan mempercayai orang lain. Seorang anak dapat mengalami hal-hal tersebut karena banyaknya konflik dan ketidaksesuaian hubungan antar anggota keluarga, utamanya orang tua yang seharusnya menjalankan figur sebagai pasangan untuk suami dan istri.

Dinamika ketidakharmonisan dalam hubungan keluarga yang telah dialami tersebut membuat seorang anak enggan menjalani relasi romantis karena merasa tidak yakin dengan komitmen hubungan yang dibangun dan tidak ingin mengulang kesalahan yang dilakukan oleh orang tua. Seorang anak yang hidup bersama orang tua dengan relasi kurang harmonis biasanya menganggap  hubungan romantis sebagai sesuatu yang sulit untuk dijalani. Mereka mungkin akan membayangkan kerumitan dan berbagai konflik yang akan terjadi sebelum memulai sebuah hubungan romantis.  Namun, di sisi lain tampaknya masih ada sebagian anak yang memandang positif perceraian orang tua mereka dan menganggap sebagai sesuatu yang memang sebaiknya terjadi untuk keluar dari hubungan yang tidak sehat, bahkan mereka tetap optimis dengan perjalanan hubungan romantis yang akan atau sedang mereka jalani. Sudut pandang ini tergantung pada persoalan dan bagaimana proses orang tua tersebut bercerai.

Pada akhirnya, ketidakharmonisan dalam sebuah keluarga memang turut memberikan dampak yang kompleks dan cenderung negatif pada ekspektasi seorang anak dalam sebuah hubungan romantis. Namun, dengan cara pandang yang tepat, seorang anak yang tumbuh dengan keluarga tidak harmonis tetap memiliki peluang untuk membangun hubungan romantis yang sehat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun