Mohon tunggu...
Nur Jihan
Nur Jihan Mohon Tunggu... -

Menulis itu NIAT..\r\nBukan BAKAT..

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Anak Bukanlah ‘Badut’ Orang Dewasa

17 Juni 2015   10:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:48 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendidikan di Indonesia semakin menujukkan peranannya untuk mencerdaskan bangsa. Kualitas dan mutu pendidikan semakin hari juga semakin ditingkatkan, sebagai contoh dengan menfasilitasi kesejahteraan tenaga pendidik dan membuat kurikulum baru untuk meningkatkan kualitas siswanya. Pasalnya, hal ini dibarengi dengan fakta bahwa  semakin ketatnya dunia kerja yang akan menanti para siswa dan persaingan yang mengharuskan anak-anak mau tidak mau akan menghadapi bentuk rupa era global yang seperti itu. Dampaknya, sekolah-sekolah juga semakin gencar untuk meningkatkan kualitas dan mutunya, dan hal tersebut juga berbanding lurus bagi sekolah ‘favorit’ untuk memberikan kriteria tinggi bagi calon siswanya. Tak berhenti sampai disitu, para orangtua juga turut andil dalam menyadari perkembangan dunia dan dengan berbagai macam cara mulai mempersiapkan anaknya agar masa depannya ‘tampak’ layak untuk diperhitungkan. Bukan hal yang buruk untuk dilakukan, bukanya saat ini keadaannya memang demikian? Toh semuanya juga demi kebaikan bagi generasi bangsa.

Siapa orangtua yang tak bangga jika anaknya mendapatkan pekerjaan bagus dan rentetan prestasi yang memukau. Oleh karena itu, para orangtua mempersiapkan anak mereka sejak kecil dan berusaha untuk memenuhi segala macam kebutuhan anak yang dapat menunjang pendidikannya. Salah satunya dengan mengikutkan les agar anak tidak tertinggal atau dapat mengejar materi yang diajarkan disekolah. Bahkan ada beberapa orangtua yang khusus mengikutkan anaknya dengan berbagai macam les sejak kecil, tidak hanya les yang berhubungan dengan materi disekolah tapi les keteramilan lainnya, seprti musik, bahasa, dan sebagainya agar anaknya dapat masuk kelas akselarasi di sekolah ternama. Secara tidak langsung anak dibentuk sedemikian rupa agar menjadi sesosok anak dengan keberbakatan istimewa. Tentu hal itu mungkin saja, mengingat anak berbakat tidak sepenuhnya berasal dari gen saja.

Lalu, bagaimana dengan anak tersebut?        

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sedangkan menurut Hurlock. Masa kanak-kanak dimulai setelah melewati masa bayi. Yang penuh dengan ketergantungan, yaitu sekitar umur 2 tahun, hingga masa dimana anak telah mencapai kematangan secara seksual, yaitu umur 13 tahun untuk perempuan dan umur 14 tahun untuk laki-laki. Mengingat dalam tugas perkembangan anak-anak, dimana waktu bermain bersama teman-temannya lebih banyak dari pada waktu belajar akademik. Itupun belajar akademik hanya memelajari hal-hal yang sederhana. Akan tetapi faktanya, anak-anak sekekarang harus merelakan bahkan membunuh waktu bermainnya yang seharusnya menjadi kewajibannya demi ambisi orangtua yang beralasan untuk masa depan anak.

Para tokoh psikologi mengatakan, jika ingin menjadikan individu yang sehat maka individu harus melawati tugas perkembangannya dengan baik dan benar. Tidak salah jika orangtua mengikutkan berbagai macam les tambahan, tapi bukan hal bijak jika harus merusak tugas perkembangan anak. Apalagi dengan alasan yang tak berdasar seperti agar anak tidak ketinggalan dengan temannya. Dampaknya akan didapat anak jika memasuki masa dewasa nanti, karena menurut para tokoh psikologi, jika individu tidak menjalankan tugas masa perkembangan dengan sehat dan baik, maka kemungkinan besar hal abnormal/patologi akan didapat pada masa selanjutnya. Banyak contoh patologi, mulai dari segi kognitif, emosi, dan sosial. Pastinya patologi tersebut tidak akan membawa dampak baik bagi anak nanti.

Apalagi dengan memaksakan anak agar bisa masuk di kelas akselarasi. Memang, kelas percepatan (akselarasi) membuat siswa bisa memperkecil watunya untuk belajar disekolah. Tapi, meskipun begitu kriteria untuk memasuki kelas akselarasi tidak sedikit, belum lagi kegiatan-kegiatan lebih ekstra dibanding siswa kelas reguler yang harus dijalani oleh siswa akselarasi. Syarat utamanya adalah IQ, untuk masuk ke kelas akselarasi anak harus mempunyai IQ minimal > 125. Padahal anak usia sekolah yang mempunyai IQ > 125 diperkirakan hanya 2,2% saja. Sekolah dan orangtua baiknya menyadari hal ini, karena kebaikanpun jika dipaksakan maka bukan hal baik yang akan dipetik tapi kerugian yang akan berbuah dan memakan segala hal baik yang ada.

Bukan berarti dengan menanggalkan kegiatan ekstra penunjang pendidikan anak, orangtua tidak bisa menjadikan anak yang unggul, dan berbakat. Saat ini banyak metode yang dikembangkan untuk melatih kecerdasan dan kecakapan anak dengan permainan khusus, dan jika orangtua belum sanggup secara materi untuk mengikutkan anak dalam pelatihan tersebut, maka cara yang paling sederhana dan sebenarnya ada disekitar dengan membiarkan anak bermain bersama teman sebayanya. Aktifitas bermain, akan melatiha anak untuk melakukan problem solving dan menjadikan anak kreatif dan aktif. Selain itu, orangtua juga turut memberikan dampingan belajar pada anak. Karena anak berbakat itu bukan hanya sebatas seberapa jauh dia bisa melampaui orang-orang disekitarnya tapi seberapa jauh dia bisa bertanggung jawab dan merentangkan tangan ketikan orang lain terjatuh.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun