Mem-BONGKAR PemBEGALan Penerapan PP 56 di Kab. Aceh Singkil
Kalau cinta sudah dibuang, jangan harap keadilan akan datang. Kesedihan hanya tontonan, bagi mereka yang diperkuda jabatan. Â Penindasan serta kesewenang-wenangan, banyak lagi teramat banyak untuk disebutkan. Hoi hentikan hentikan jangan diteruskan, kami muak dengan ketidakpastian dan keserakahan. Sepenggal lirik lagu Iwan Fals sebagai kata Perlawanan terhadap segala bentuk Penindasan dan Pembodohan.
Cinta adalah dasar perjuangan. Dengan cinta maka semua orang dapat berlaku adil dan bersikap bijak, tanpa cinta orang akan menjadi kejam dan serakah, segala cara akan dihalalkan untuk mecapai tujuan yang ingin diraih. Oleh sebab itu, sebagai manusia cinta tak boleh kita hilangkan.
Hari ini kita disemarakkan dengan pemberitaan terkait kasus Begal yang terjadi di tanah air. Yang membuat rakyat menjadi tidak nyaman, keamanan terganggu, terus merasa was-was karena perilaku Begal yang dapat terjadi kapan saja dan tak peduli siapaun  dia. Pelaku Begal tak pandang buluh untuk merampas hak yang bukan hak nya. Baik korban maupun pelaku Begal mendapatkan kerugian yang amat besar. Bahkan nyawa sekalipun dapat hilang dalam sekejap akibat kekejaman perilaku Begal.
Hal yang menarik untuk diperhatikan dengan pemberitaan kekejaman Begal, paradigma masyarakat digiring dibuat seakan perilaku Begal adalah perampasan atau penculikan kendaraan semata. Padahal seyogyanya Begal adalah perilaku merampas di jalan. Baik arti jalan secara umum maupun arti jalan secara luas. Pembegalan termasuk merampas aturan-aturan yang berlaku yang ‘TIDAK’ dijalankan sesuai dengan prosedur dan ketetapan yang ada.
Dalam konteks ini, pem-Begalan secara sistematis dan terorganisir telah terjadi dalam penerapan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2012 di Kabupaten Aceh Singkil. PP 56 Tahun 2012 merupakan angin surga bagi para tenaga honorer terkhusus bagi para dokter dan dokter gigi yang telah selesai atau sedang melaksanakan tugas sebagai pegawai tidak tetap (dokter/dokter gigi PTT), Â atau sebagai tenaga honorer pada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah, karena dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) setelah melalui pemeriksaan kelengkapan berkas.
Aturan ini memberikan ekspektasi yang begitu besar untuk dapat mengabdi pada bangsa dan negara. Sebagaimana dalam Tri Darma Perguruan Tinggi yang menjadi doktrinisasi sebagai kaum intelektual. Â Kita menjadi orang yang terdidik dengan menjalankan pendidikan, dan semasa akhir studi kita melakukan penelitian agar lebih memahami konteks teori dan realita, dan setelah semua itu maka tugas kita sebagai insan akademis adalah melakukan pengabdian kepada masyarakat. Menjadi aparatur negara sebagai Pegawai Negeri Sipil tentunya adalah salah satu jalan mulia yang sebagian besar orang mengharapkannya, demi mewujudkan cita-cita negara untuk mercerdaskan anak bangsa dan menjauhkan dari segala bentuk penjajahan.
Namun ekspektasi ini seakan lebur ditelan masa, bagaikan gelombang  tsunami yang menghantam begitu deras, hingga tak memberi bekas kecuali luka dan derita. Karena para penguasa yang berkedok pemerintah yang peduli akan nasib rakyat setempat, para pejabat yang bermental penjilat dan haus materi serta para teman sejawat yang menutup mata akan pemBegalan yang telah terjadi. Menyebabkan semuanya sirna, sehingga kami yang selayaknya paling berhak mengikuti proses pengangkatan sebagai CPNS dalam aturan PP NOMOR 56 tersebut, namun hak kami diBegal karena kami tidak mau mengikuti jalan yang menyesatkan.
Aturan PP NOMOR 56 yang seharusnya sebagai wadah buat pemerintah untuk mengakomodir seluruh tenaga honorer terkhusus tenaga dokter yang layak untuk diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil, dimana seluruh prosesnya harus dimudahkan, karena kebutuhan pegawai, apatahlagi kebutuhan tenaga dokter menjadi sangat signifikan untuk kemajuan dan kesejahtraan tiap daerah. Namun justru aturan PP NOMOR 56 di Kab. Aceh singkil dibuat seakan kami (para dokter) yang haus dan butuh untuk mendapatkan gelar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Hingga PP 56 yang seharusnya aturan yang berlaku dan mengikat untuk dijalankan secara prosedural, justru semuanya itu diBegal, dan dilakukan privatisasi dengan menarik biaya terhadap para dokter yang mau ikut pengangkatan sebagai CPNS lewat jalur PP 56.
Pemerintah Daerah Kab. Aceh singkil melalui Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) telah melakukaan ‘inkonstitusional’ dalam penerapan aturan ini, sangat jauh menyimpang dan keluar dari nalar kita. Dimana dalam proses penerapannya berjalan tidak sesuai dengan prosedur peraturan yang ditetapkan. Visi dan Misi BKPP Aceh tak lagi dijalankan, yang seharusnya BKPP melakukan pengelolaan administrasi kepegawaian secara profesional sebagai misi utama, namun hal ini tidak dilakukan, karena lebih mementingkan materi ketimbang profesinalisme. Padahal kelayakan kami sebagai warga negara, sebagai dokter, pengangkatan sebagai CPNS lewat aturan PP 56 sudah menjadi hak kami, yang sama sekali tak boleh dipersulit apalagi dijadikan proyek privatisasi untuk meraup keuntungan materi.
Beberapa pelanggaran yang dilakukan. Pertama, tiap tenaga dokter yang ingin ikut pengangkatan CPNS melaui aturan PP NOMOR 56 harus siap mengeluarkan uang, yang tentunya tidak sedikit, dengar berbagai alasan pembenaran yang disampaikan, mendengar langsung permintaan uang tersebut, tentunya sebagai manusia yang punya idesalisme yang anti terhadap segala bentuk penyuapan. Menolak dengan keras perilaku pejabat daerah yang begitu bringas melakukan pemBegalan terhadap hak kami dan melanggar aturan yang ada.