Kedua, PP 56 dijalankan tidak sesuai dengan prosedur peraturan yang berlaku, dimana seharusnya yang layak ikut aturan ini adalah para doktert/dokter gigi yang sudah selesai atau sedang menjalankan tugas sebagai Pegawai Tidak Tetap (PTT) atau sebagai tenaga honorer pada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah, namun justru perekrutan para tenaga dokter tidak melihat aturan yang ada, yang penting mereka siap membayar, walaupun mereka tidak pernah melaksanakan tugas sebagai dokter PTT atau sebagai tenaga honorer, bahkan ada status dokter yang masih internsip juga diloloskan dalam aturan ini. Padahal sudah sangat jelas siapa dan apa persyaratan bagi tenaga dokter yang layak untuk ikut dalam aturan PP 56 tersebut.
Pemerintah Daerah Kab. aceh singkil dibawah koordinasi langsung dengan Badan Kepegawaian, Pendidikan dan Pelatihan  (BKPP), telah memanipulasi semua aturan ini, dan melakukan pemBegalan terhadap hak kami. Dimana dokter yang ikut tentunya bukan lagi dengan jaminan aturan yang ada, namun diganti dengan jaminan materi. Sehingga semua berjalan dengan mulus. Pepatah orang arab badui mengatakan: ada fulus semua mulus.
Ketiga, kebijakan ini semakin membuat geram, karena seyogyanya para dokter yang terangkat sebagai CPNS melaui aturan PP NOMOR 56, harusnya mereka mendapatkan penempatan tugas pada fasilitas pelayanan kesehatan di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan atau tempat yang tidak diminati paling singkat selama 5 tahun. Namun yang terjadi di Kabupaten aceh Singkil sebagian besar tenaga dokter yang telah terangkat dengan cara yang sangat tidak wajar sebagai CPNS melalui aturan PP NOMOR 56, melalui Surat Keputusan Bupati Aceh Singkil NOMOR : Peg.813.3/429/2014 tertanggal 05 desember 2014 justru mendapatkan penempatan tugas pada daerah dengan kategori ‘biasa’, dan ada indikasi terkait penempatan tersebut ada lobi yang terjadi, bahkan ada dokter yang ditempatkan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Aceh Singkil. Dimana Surat Keputusan Bupati Aceh Singkil tersebut sudah sangat menyimpang dari aturan PP NOMOR 56.  Namun setelah ditelisik lebih jauh. Ternyata yang medapatkan posisi aman, adalah mereka yang punya garis keturunan atau kedekatan dengan pihak penguasa.
Dan kejadian yang lebih menyesakkan dada, seorang dokter yang sudah mendapatkan Surat Keputusan untuk bertugas di puskesmas tertentu, dan dokter tersebut sudah bertugas selama seminggu, dengan waktu yang begitu singkat, tanpa sepengetahuan pihak puskesmas, ternyata dokter tersebut sudah pindah tugas ke puskesmas lain dengan Surak Keputusan Bupati yang baru. Sungguh sangat mencederai aturan yang ada. Surat Keputusan Bupati tak memiliki ‘marwah’ bagaikan lot arisan yang sangat mudah berubah. Jelas kebijakan penempatan dokter  tersebut sangat menyalahi aturan, dimana dokter tersebut dan pejabat yang bermental penjilat lupa kalau mereka digaji dari uang rakyat, lantas se-enak perut mereka saja melakukan kebijakan. BKPP Kab. Aceh Singkil tidak lagi melakukan kinerja berbasis profesionalisme namun berbasis asas kapitalistik. Penempatan tidak lagi sesuai aturan, namun sesuai pesanan. Padahal puskesmas yang ditinggalkan, memang daerah yang sangat membutuhkan tenaga dokter. Sungguh picik dan lupa diri kalau mereka harusnya mengabdi bukan mencari gelar dan materi. Ingat kawan-kawan teman sejawat dan para penguasa serta para pejabat yang bermental penjilat perilaku suap-menyuap adalah hal yang sangat terLaknat.
Keempat, aturan ini dijalankan dengan penuh kamuflase dan sangat tampak terang benderang kebohogannya, karena seharusnya para dokter yang mengikuti proses pengangkatan CPNS melalui aturan PP NOMOR 56 tersebut medapatkan rekomendasi dari Dinas Kesehatan. Rekomendasi tak dikeluarkan oleh Dinas Kesehatan, tentunya bukan tanpa sebab, karena pihak Dinas Kesehatan paham betul kelayakan dokter yang bisa mengikuti proses pengangkatan CPNS melaui aturan PP NOMOR 56. Namun tanpa rekomendasi dari pihak Dinas Kesehatan proses pengangkatan tetap berjalan dan dilakukan, dan untuk mengindahkan rekomedasi dari dinas Kesehatan maka dibuatkan Surat Keputusan Bodong yang menyatakan para dokter tersebut pernah melakukan pengabdian agar mereka dapat memenuhi syarat pemberkasan, dan lebih anehnya lagi pasca Surat Keputusan Bupati Aceh Singkil dikeluarkan, pihak Dinas Kesehatan tidak mengetahui akan penempatan para dokter yang telah lulus memalui aturan PP NOMOR 56 tersebut. Setelah para dokter tersebut datang melapor dengan cara yang tidak bersamaan ke pihak Dinas Kesehatan dengan membawa Surat Keputusan Bupati, yang merupakan bentuk pemberitahuan belaka, karena penempatan tugas sudah mereka ketahui lebih dulu ketimbang pihak Dinas Kesehatan. Padahal kebijakan dan pengetahuan akan kebutuhan tenaga kesehatan adalah kewenangan dari Dinas Kesehatan. Namun Dinas Kesehatan yang merupakan ‘induk’ pengelola kesehatan tak mengetahui akan adanya tenaga kesehatan yang akan bekerja. Sungguh sangat ironi. Terjadi distorsi yang begitu besar, hingga perilaku kamuflase dalam penerapan aturan ini sangat berbau tak sedap.
Merujuk dari Surat keputusan Bupati Aceh Singkil tersebut, pada penetapan point ketiga: apabila dikemudian hari ternyata terdapat kekeliruan dalam Keputusan ini akan diadakan perbaikan. Dengan uraian diatas sudah sangat jelas dan selayaknya jika proses pengangkatan CPNS gelombang kedua melalui aturan PP NOMOR 56 yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kab. Aceh Singkil, harus dilakukan pemeriksaan untuk dilakukan perbaikan bahkan PEMBATALAN karena telah terjadi produk ‘inkonstitusional’ dan telah melakukan ‘pembegalan’ terhadap hak para dokter yang layak akan aturan tersebut.
Feodalisme dan praktek suap-menyuap yang dibungkus dengan nepotisme bercitarasa kapitalisme sudah sangat merusak tatanan Pemerintahan yang ada di Kabupaten Aceh Singkil. Ini mungkin hanya satu kasus dari sekian banyak kasus penyimpangan kebijakan yang ada. Namun semua lisan terdiam, apalagi fisik untuk melawan, karena ancaman mutasi dan pemecatan menjadi hantu yang sangat menakutkan bagi penduduk Aceh Singkil terkhusus bagi Pegawai Negeri Sipil.
Awalnya penulis tak ingin menuliskan hal ini, namun selama bertugas di Kabupaten Aceh Singkil, sebagai anak rantau yang jauh dari pulau sulawesi, berharap datang di tanah Aceh untuk memberikan pengabdian dan pelayanan yang baik buat masyarakat di Aceh. Namun ternyata kekejaman dan pembegalan hak-hak para rakyat, sangat menindas terhadap rakyat kecil yang tak berduait, rakyat yang tak punya silsila keturunan dan rakyat yang tak mau menjadi penjilat, hingga hati kecil ini menjadi sangat geram melihat fenomena yang terjadi. Dari pijakan tersebut penulis berikhtiar lewat tulisan ini, mengajak kepada seluruh aktivis pergerakan,  para ulama yang senantiasa memberikan pencerahan di mimbar-mimbar khutbah dan tempat pengajian, para akademisi yang mencerdaskan, para pegawai yang tak bermental penjilat, para pejabat  yang anti feodalisme, para wakil rakyat yang tak tidur disaat rakyat tertidur,  dan seluruh rakyat aceh singkil yang siap melakukan perlawan terhadap segala bentuk pembodohan dan penjajahan.
Terkhusus  kepada teman  sejawat yang saya cintai dan saya banggakan, mari kita rubah paradigma masyarakat terkhusus para pejabat yang selalu beranggapan kalau dokter adalah manusia yang kaya, sehingga setiap mereka behubungan dengan dokter selalu dibangun atas dasar kebutuhan materi. Padahal tidak semua dokter lahir dari keturunan yang berada, mereka harus sadar kalau banyak dokter yang lahir dari keluarga tak berada namun mereka beradab, yang mereka tau arti hidup susah, tau arti kemiskinan, dan merasakan kelaparan, yang mereka berjuang mendapatkan gelar dokter bukan dari hasil subsidi silang orang tua, namun dari keringat mereka sendiri, dan mereka punya prinsip: walaupun hidup susah yang penting tak menyusahkan orang lain, apalagi merampas hak orang lain.
Mari kita satukan saff kita, kita lakukan gerakan perlawanan yang massif terhadap segala bentuk perbudakan dan pembodohan, karena kebaikan yang tidak terorganisir akan mudah dikalahkan dengan kejahahatan yang terorganisir. Jangan takut akan ancaman, apalagi hanya sebatas mutasi dan pemecatan. INGAT...!!! usia perjuangan jauh lebih panjang dari usia kita. Jika bukan kita yang menikmati hasil perjuangan ini. Yakin saja generasi selanjutkan akan merasakan manisnya perjuangan ini.
Harapan penulis, setelah tulisan ini dipublikasikan. Berharap agar seluruh rakyat Indonesia terkhusus anak bangsa yang berada di Kabupaten Aceh Singkil. Tidak berdiam diri atau bersikap Apatis, tapi mau berjuang bersama untuk melakukan advokasi terhadap segala kebijakan yang menyimpang, terkhusus kasus yang penulis sampaikan. Penulis sama sekali tak benci pada personal dibalik semua ini, namun penulis tak rela jika penguasa, pejabat bermental penjilat dan teman sejawat yang menutup mata akan kasus pembegalan ini, untuk  terus dibiarkan melakukan penyimpangan. Karena ini merupakan karakter yang harus diamputasi.