Hukum Humaniter Internasional merupakan cabang dari hukum internasional publik yang diterapkan dalam sengketa bersenjata yang dibantuk untuk menjamin sejauh mungkin penghormatan terhadap manusia, sesuai dengan persyaratan militer dan keamanan umum, serta untuk mengurangi penderitaan yang disebabkan oleh peperangan. Hukum Humaniter Internasional dibagi dengan dua cabang yaitu Hukum Jenewa dan Hukum Hen Haag.
Hukum Jenewa merupakan adalah hukum yang melindungi dan menghormati para korban perang dari situasi sengketa bersenjata, dimulai dari angkatan bersenjata yang berstatus "out of combat" tentang apakah mereka luka, sakit atau korban karam, tawanan perang, penduduk sipil hingga orang-orang yang pada hakekatnya tidak terlibat dalam peperangan. Sedangkan Hukum Den Haag merupakan hukum yang menentukan hak dan kewajiban dari pihak-pihak yang bersengketa tentang cara melakukan operasi-operasi militer serta batasan-batasan dalam menyebabkan kerusakan di pihak musuh. (Arlina Permanasari, 1999)
Hukum Jenewa dan Palang Merah (ICRC) mempunyai latar belakang sejarah yang sama yakni pada akhir pertempuran berdarah di Solferino (Italia) pada tahun 1859. Henry Dunant tergetar menyaksikan penderitaan korban-korban luka yang sekarat dan tidak berdaya, tanpa mendapatkan bantuan kesehatan, sehingga menimbulkan pemikiran pembentukan Palang Merah dan Hukum Humaniter Internasional.
Bagi Dunant, tragedi peperangan seperti itu hendaknya hanya terjadi sekali saja, maka ia pun mengutarakannya dalam sebuah buku yaitu "kenang-kenangan di Solferino" yang mana didalamnya ia mengemukakan dua pemikirannya, yang pertama, saat damai membentuk organisasi bantuan di setiap negara yang bertugas membantu pelayanan kesehatan angkatan bersenjata pada saat peperangan, yang kedua, merumuskan konvensi internasional untuk membantuk mereka yang luka dalam peperangan yang sifatnya tidak dapat diganggu gugat. Maka tujuan awal dibentuknya Palang Merah atau yang sekarang di sebut juga ICRC adalah untuk membuat peperangan menjadi lebih manusiawi dengan mengurangi penderitaan para korban.
Karena pentingnya keamanan kemanusiaan, maka Tentara Negara Indonesia dibawah Letjen Joni Supriyanto mengatakan bahwa mereka akan berupaya untuk mengirimkan tentara untuk pasukan Perdamaian dunia menuju beberapa negara konflik seperti, Lebanon, Republik Afrika Tengah, dua kawasan di Kongo, Unisfa, Abiye, Sudan Selatan dan Minurso Sahara Barat.
Dengan persenjataan TNI yang saat ini sudah semakin modern dan canggih, mereka semakin kuat untuk  melindungi masyarakat sipil di wilayah konflik tertentu yang menjadi korban peperangan. Jadi selain TNI yang dikirim untuk membantu dan  melindungi korban perang di wilayah konflik seperti Lebanon tersebut, ICRC sebagai organisasi yang bertanggung jawab atas perlindungan korban perang terkait mulai dari korban perang kombatan maupun non-kombatan yang terluka hingga penanganan orang hilang juga berpartisipasi dan berkolaborasi dengan TNI dalam penanganan korban perang dalam misi perdamaian.
Selain konflik, ICRC juga rutin berinteraksi dengan pemerintahan Indonesia melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam upaya kemanusiaan. Seperti konferensi yang telah diadakan di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat yang mana dihadiri oleh sejumlah tamu undangan seperti, Wakil Sekertaris Jenderal PBB untuk operasi Perdamaian Jean-Piere Lacroix, Direktur ICRC untuk Timur Tengah Robert Marsini dan juga perwakilan dari 28 negara, mereka semua datang untuk membahas tentang upaya penanganan perlindungan terhadap sipil korban perang. (Firdaus, 2019)
Selain konferensi yang diadakan oleh pihak TNI dan ICRC, mereka juga bersama menjalin kerjasama dalam bidang pendidikan dan penyuluhan hukum humaniter. ICRC sangat mendukung perkembangan demokrasi yang terjadi di Indonesia, selain karena sebagai negara yang mayoritas Muslim terbesar di dunia, perkembangan Tentara Nasional di Indonesia juga semakin memperlihatkan pengalaman dan kesanggupan mereka untuk membina kerjasama dimasa mendatang terkait menjaga perdamaian dunia. (Kadispenum Puspen TNI, 2012)
Referensi
Arlina Permanasari, N. A. (1999). Hukum Perang - Bahan Ajaran untuk Para Instruktur. Jakarta: Tim Gabungan TNI AL - ICRC.
Firdaus, A. (2019, Juni 26). indonesia kirim 4.000 pasukan perdamaian pada 2019. Retrieved from Antaranews:Â