Ramadan adalah bulan yang selalu membawa perasaan hangat. Ada semangat berbagi yang meluas, dari membagikan makanan berbuka hingga berdonasi untuk mereka yang membutuhkan.
Namun, pernahkah kita merasa bahwa niat baik kita justru dimanfaatkan? Bahwa tangan yang kita ulurkan dengan tulus malah dijadikan kesempatan bagi orang lain untuk mengambil lebih banyak, tanpa rasa terima kasih?
Ada sebuah kisah yang selalu terngiang di kepalaku. Seorang teman pernah berkata, "Aku sudah banyak membantu dia, tapi kenapa malah aku yang tersakiti?" Temanku ini, sebut saja Aisyah, selalu ringan tangan.
Dia membantu teman-temannya yang kesulitan finansial, mendukung mereka dalam masalah pribadi, bahkan mengorbankan waktu dan emosinya untuk memastikan orang lain baik-baik saja.
Namun, suatu hari, ketika ia sendiri membutuhkan bantuan, orang-orang yang dulu dibantunya justru menghilang. Tidak ada balasan, bahkan sekadar ucapan terima kasih pun terasa mahal.
Ikhlas atau Dimanfaatkan?
Fenomena seperti ini bukan hanya dialami Aisyah. Mungkin kita pun pernah berada di posisi yang sama.
Ramadan mengajarkan kita untuk berbagi tanpa mengharapkan balasan, tetapi apakah itu berarti kita harus terus-menerus menerima perlakuan yang merugikan?
Dalam Islam, konsep memberi bukanlah sekadar tindakan, melainkan bagian dari hubungan spiritual kita dengan Allah. Rasulullah SAW bersabda:
"Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah." (HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, memberi lebih baik daripada menerima. Namun, ini bukan berarti kita harus membiarkan diri kita dimanfaatkan. Islam juga mengajarkan keseimbangan dan keadilan. Allah berfirman dalam Al-Qur'an: