"Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu baik. Dan jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir, maka itu lebih baik bagimu." (QS. Al-Baqarah: 271)
Di era media sosial, berbagi bukan lagi sekadar tindakan kebaikan, tetapi sering kali menjadi konten.
Kita semakin sering melihat video seseorang memberikan bantuan kepada orang miskin, membagikan makanan, atau menyantuni anak yatim, lengkap dengan angle kamera yang sempurna dan caption penuh doa.
Apakah ini bentuk kepedulian, atau ada sesuatu yang lebih dalam di baliknya?
Berbagi vs Branding Pribadi
Zaman dulu, orang-orang bersedekah dalam senyap. Ada kepuasan batin yang datang dari memberi tanpa ada yang tahu. Namun kini, sedekah kerap kali terekam dalam resolusi tinggi, lengkap dengan musik latar haru biru dan editan cinematic.
Tidak jarang, kita melihat mereka yang menerima bantuan tampak canggung, bingung apakah harus tersenyum ke kamera atau tetap pada ekspresi mereka yang sebenarnya.
Fenomena ini sering disebut dengan 'pahala digital', sebuah istilah yang merujuk pada tindakan berbagi yang dilakukan dengan harapan mendapat apresiasi dari dunia maya, selain dari Tuhan.
Ada elemen branding yang tidak bisa diabaikan. Semakin banyak engagement, semakin tinggi eksposur akun media sosial, dan tidak jarang berujung pada keuntungan pribadi.
Apakah ini berarti berbagi dengan merekam adalah tindakan salah? Tidak juga. Niat tetap menjadi inti. Jika dokumentasi itu menginspirasi orang lain untuk ikut berbagi, tentu ini adalah hal baik. Tetapi, jika tujuan utamanya adalah mendapatkan validasi sosial, apakah ini masih bisa disebut sebagai ketulusan?