Setiap kata yang kita tulis adalah jembatan antara apa yang nyata dan apa yang kita bayangkan.Fiksi sering dianggap sebagai sesuatu yang sepenuhnya lahir dari imajinasi, tetapi kenyataannya, ia selalu memiliki jejak realitas di dalamnya.
Tidak ada cerita yang benar-benar steril dari pengalaman hidup, kesadaran sosial, atau interpretasi penulis terhadap dunia yang ia tinggali.
Bahkan dalam dunia yang tampak sepenuhnya fiktif, seperti dalam karya-karya realisme magis atau surealisme, kita selalu menemukan potongan-potongan kehidupan nyata yang diolah menjadi sesuatu yang lebih besar dari realitas itu sendiri.
Gabriel Garca Mrquez dalam Seratus Tahun Kesunyian menciptakan Macondo, sebuah kota yang tampaknya ajaib dan di luar logika, tetapi setiap elemen dalam novel itu tetap mencerminkan sejarah, politik, dan kultur Amerika Latin.
Franz Kafka dalam Metamorfosis membawa absurditas dengan mengubah manusia menjadi serangga, tetapi pada intinya, kisah tersebut adalah refleksi dari keterasingan manusia dalam masyarakat modern.
Di tangan para penulis, kenyataan tidak hanya direkam, tetapi dirombak, diperluas, dan diberi nyawa baru untuk menyampaikan sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar fakta objektif.
Banyak orang berpikir bahwa semakin fiktif sebuah cerita, semakin jauh ia dari dunia nyata, padahal justru dalam absurditas itulah kita menemukan kebenaran yang lebih jujur.
Manusia sering kali lebih percaya pada narasi dibandingkan fakta karena narasi mampu merangkul emosi dan pengalaman yang kompleks.
Penulis memiliki kebebasan untuk membelokkan realitas, mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih dramatis, lebih menyakitkan, atau lebih magis dari yang sebenarnya terjadi.
Namun, di balik setiap dongeng, legenda, atau fiksi ilmiah, selalu ada pengalaman manusia yang nyata, meskipun tersembunyi dalam lapisan metafora dan simbolisme.
Kita menyukai fiksi bukan karena ia sepenuhnya berbeda dari kehidupan, tetapi karena di dalamnya, kita menemukan potongan-potongan kecil dari kehidupan kita sendiri.