Mohon tunggu...
Imam syafii
Imam syafii Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jangan Sampai Cincin ini Terkotori Borgol Korupsi

11 Januari 2019   08:46 Diperbarui: 11 Januari 2019   09:12 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepagi ini dusta sudah sesumbar di jalanan, pasar, rumah tangga. Jalanan penuh gebut, geber transportasi. Kejar-kejaran tujuan, terburu-buru desakan waktu. Dosa pagi ini kenapa aku tak jujur padamu. Membual semua tentang perasaanku. Tidak apa adanya dan berbicara dengan rasa. 

Aku hanyalah seorang perempuan yang menjamu. Kepergianmu dari pintu ku harap bisa membedakan hak dan tanggungjawab. Bukan lalai dan melupakan, tidak abai dan persetan. Langkah pertamamu kuharap itu doa yang dalam. Jelma malaikat yang menjagamu dari sengatan tindak bejat.

Sepagi ini aku ingin mengatakan "jangan ambil uang rakyat," aku sudah cukup dengan hidup sederhana. Aku tidak butuh kemegahan istana, hanya ingin kita damai dan tak terpisah oleh penjara. Tanda tangannilah yang memang itu jelas dan benar. Bukan karena ada suap dan uang tambahan. "Ayah tidak lupa sumpah jabatan to?" Menjaga amanah dengan segenap jiwa dan raga.

Aku berdusta tidak mengingatkan-mu pagi ini. Hingga langkahmu terburu-buru pergi. Memulai langkah tanpa permisi. Lajumu kencang sepeti kesurupan. Adakah yang kamu sembunyikan? Kami sudah bahagia Ayah mengabdi untuk negara. Kami juga siap prihatin hidup jarang bersama. Tapi bukan uang yang kami inginkan. Hanya sebuah penghormatan dari budi luhur yang ayah tanam. 

Ingatkah janji pernikahan yang dibacakan saat hari akad kita? Kau patuhi semuanya, secara lahir karena hati hanya kamu yang tahu. Bukan aku, meskipun kita sudah seranjang. Kalau Ayah tidak cerita, kekasihmu ini juga tidak akan pernah mengerti. Ku harap itu halal. Nafkah yang  kau berikan pada keluarga ini. Bukan hasil mencuri yang menjijikkan. Minum keringat dan belatung busuk. Korupsi itu lebih kejam dari fitnah dan fitnah lebih kejam dari pembunuhan.

Kantor bukanlah pasar sebagai ajang jual beli. Kantor adalah rumah kedua yang harus kita jaga. Seperti menyayangi dan mengasihi. Seperti mencintai dan peduli. Kami merindukan Ayah kembali ke rumah. Dengan senyum dan kebahagian. Bukan dengan penat dan rasa berat.  Aku bersama doa yang ku puji untukmu. Semuanya tentang keselamatanmu. Kami harap Ayah memahami makna kebeartian.

Tangis ini buatmu semoga hanya di dalam doa. Bukan karena terpisah dalam penjara dan kami menanggung malu tiada tara. Kalau mereka merasa bahagia dengan semua punya. Aku tidak, Ayah. Kekasihmu hanya ingin sampai dengan secukupnya. Aku tidak malu pakai sandal jepit dan sepeda. Aku tidak malu pakai kain biasa. Aku bangga berada di sampingmu. Selamanya dan sesurga.

Kalau meraka tidak malu dengan semua itu. Janganlah Ayah terbawa dan teracuni. Mereka sakit, Yah. Mereka gagar otak. Mereka sudah serupa setan dan iblis. Ayah adalah malaikat yang baik. Dusta pertama mereka adalah sombong dan tamak. Hingga persetan dengan sumpah dan janji. Jangan ajak kami ke neraka, Yah. Kami membela-bela taat untuk menghamba. Tidak elok kalau Ayah putuskan jembatan dan menjatuhkan ke dalam siksa.

"Ayah aku setia kepadamu, aku harap cintamu juga setia pada ibu pertiwi." Jangan sampai tanganmu terborgol dan mengotori cincin ikatan pernikahan. Kalau pada negara saja kamu bisa berdusta. Bagaimana dengan kekasihmu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun