Cengkeh adalah salah satu jenis rempah yang membedakan citarasa sebatang kretek dari jenis rokok lainnya. Rempah endemik Nusantara ini sudah dikenal dalam arus perdagangan sejak masa silam, jauh sebelum Hitler mengkampanyekan gerakan anti tembakau. Tercatat memasuki abad 15 kerajaan Spanyol dan Portugis telah mengirim utusannya untuk menjelajah ke Timur. Dengan satu misi mencari rempah-rempah. Ternate, Tidore, Moti, dan Makian, adalah tempat cengkeh pada awalnya tumbuh. Rempah yang berjuluk emas coklat ini memiliki sejarah panjang tersendiri. Diawali dari pengingkaran komitmen Persekutuan Moti (1343), Perjanjian Tordesillas (1494) sampai dihasilkannya Perjanjian Zaragoza (1529) merupaan bukti bahwa persoalan klaim wilayah serta politik kekuasaan atas Kepulauan Rempah telah menyisakan ironi sejarah yang penting untuk kita sikapi.
Seperti halnya tembakau bersama kebudayaan manusia yang terus dihadapkan pada retorika konflik, terhitung empat abad sudah berlangsung sejak zaman Paus Urban VII hingga Bloomberg. Seturut perkembangan tata kuasa moralitas dan kepentingan modal yang meniadakan batas-batas identitas, budaya maupun teritori. Pertentangan tersebut saat ini bukan lagi hanya pada wilayah domestik, namun telah sampai pada penetrasi di tingkat global. Titik tekannya pada tahun 2003 terbitlah FCTC (Framework Convention Tobacco Control), sebuah traktat hukum internasional yang sudah diratifikasi oleh beberapa negara di Asia maupun Eropa. Terbitnya traktat internasional tentang pengendalian dan pembatasan tembakau ini didanai besar-besaran oleh industri farmasi dengan menggunakan WHO yang bermetamorfosa menjadi ‘rezim kesehatan’.
Kendati Pemerintah Indonesia belum meratifikasi FCTC, namun secara politis telah mengaksesinya ke dalam PP 109/2012, yang jika kita cermati salah satu pasalnya (12 ayat 1) mengisyaratkan larangan penggunaan ‘bahan tambahan’ pada rokok, dalam konteks ini merujuk kepada cengkeh. Jelas dari sisi ini menunjukkan gerakan anti rokok yang disokong industri farmasi yang kerap mengatas-namakan isu kesehatan, bukan hanya menstigmatisasi rokok sebagai penyebab utama kematian ataupun meningkatnya penyakit berbahaya lainnya. Misi tersembunyi dibalik agenda itu pun mengisyaratkan cengkeh termasuk di antaranya. Isyarat ini tentu bukan tanpa alasan bagi kepentingan anti rokok di Indonesia yang merupakan perpanjangan tangan Bloomberg. Apa jadinya nasib petani cengkeh jika hasil kebunnya kehilangan pasar kretek (?)
Telah sama kita ketahui serapan cengkeh untuk industri kretek terbilang sangat besar, dengan asumsi mencapai 80-90% dibanding serapan untuk industri kosmetik, farmasi maupun kuliner. Yang dapat diartikan juga serapan untuk industri padat karya ini (kretek) telah memberi devisa triliunan serta serapan tenaga kerja yang sangat menguntungkan bagi Negara. Peningkatan produksi serta kebutuhan cengkeh ini tentunya seturut dengan varian komposisi produk kretek. Baik untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan SKM ringan (mild).
Dari luas perekebunan cengkeh 501.378 Ha (Aceh sampai Papua) tercatat menghasilkan 109.694 ton (baca: Luas Lahan dan Jumlah Produksi Tembakau Cengkeh). Maka dapat disimpulkan, cengkeh kita sangatlah berlimpah untuk setidaknya memenuhi pasokan kebutuhan pasar dalam negeri. Indonesia merupakan satu-satunya Negara penghasil kretek di dunia, dan telah berbilang abad memanfaatkan semua konten yang tumbuh dari tanahnya sendiri untuk konsumennya yang besar di dalam negri. Hanya orang-orang mati akal dan buta hatinya saja yang menolak berbahagia atas anugerah untuk bangsa ini.
Dan di Indonesia hampir tidak ditemukan catatan gerakan anti rokok dalam perjalanan sejarah bangsa. Bahkan tidak ditemukan referensi sejarah yang membantah daya kreasi H. Djamhari dalam mensintesakan tembakau dengan cengkeh sebagai pelipur sesak dada. Dengan kata lain gerakan anti rokok di Indonesia sangat tidak berakar. Sampai kemudian euforia globalisasi menjadi trend yang harus diikuti. Dalam euforia globalisasi itulah titik tengkar yang mengatas-namakan kesehatan dilancarkan oleh gerakan anti rokok. Sehingga menimbulkan disharmoni pada berbagai wacana publik, yang jika kita kupas lapis demi lapis perkembangan isunya justru memunculkan anomali-anomali yang tidak sejalan dengan ruh gerakannya.
Jika pada akhirnya semua negara kelak meratifikasi FCTC, maka sudah seharusnya Indonesia menjadi satu-satunya negara yang tidak meratifikasi FCTC, karena FCTC selain membunuh industri kretek jelas akan berdampak terhadap runtuhnya perekonomian bangsa. Indonesia sebagai produsen tunggal kretek di dunia sudah saatnya tampil menunjukkan kedaulatan ekonominya.
Amerika dan Brazil sudah melarang penggunaan cengkeh, disusul sebentar lagi negara-negara Eropa yang juga melarang penggunaan cengkeh. Dari sisi itu nyatalah kelicikan anti rokok selama ini yang telah menyembunyikan selalu agenda tersebut. Jahanam betul orang-orang yang ingin membunuh bangsanya sendiri dengan cara-cara semacam itu. Maka sudah seharusnya Pemerintah dengan tegas mengambil sikap demi melindungi sektor cengkeh yang merupakan salah satu komoditi strategis penopang ekonomi bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H