Mohon tunggu...
Josef H. Wenas
Josef H. Wenas Mohon Tunggu... Administrasi - Not available

Not available

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Simbolisme Gauguin dalam “Vision After the Sermon”

24 Agustus 2016   12:38 Diperbarui: 24 Agustus 2016   16:30 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
“Vision After the Sermon”, karya Paul Gaugin, cat minyak, 73 cm x 92 cm

Mendapat inspirasi dari woodblock prints karya Hiroshige, Gauguin mengembangkan ide non-naturalistic landscapes. Bisa dilihat inspirasinya pada batang pohon yang melintang maupun penerapan warna, dan bandingkan dengan karya Hiroshige “The Plum Garden in Kameido” dibawah ini. 

“The Plum Garden in Kameido”, karya Andō Hiroshige, 1857
“The Plum Garden in Kameido”, karya Andō Hiroshige, 1857
****

Penerapan warna, bentuk dan garis pada “Vision After the Sermon” diapresiasi karena keberaniannya. Warna merah polos (flat) melawan representasi lazimnya untuk earth subjects. Begitu juga warna coklat pada batang pohon, warna hitam pada garmen, warna putih, semuanya dalam color shading yang minimal. Warna merah, hitam dan putih ini menonjol dibandingkan warna lainnya, menopang the visual energy of the scene, terutama merah memberikan kekuatan to the struggle that is occurring.

Dalam memotret “Vision After the Sermon”, Gauguin memainkan distorsi bentuk, exaggerating features, dan memainkan garis kontur yang kuat ketimbang gradual shifts in tone yang lazim dipraktekkan masa itu. Gauguin menjelaskan tentang hal ini kepada kawannya, yang sama-sama rada gila itu, Vincent van Gogh:

I think I have achieved in the figures a great simplicity, rustic and superstitious. The whole thing is very severe. The cow under the tree is very small in comparison with reality and rearing up. For me in this picture the landscape and the struggle exist only in the imagination of the people praying owing to the sermon, which is why there is contrast between the life-size people and the struggle in its non-natural, disproportionate landscape.

Maka bisa dilihat Gauguin membuktikan bahwa sangatlah mungkin untuk menjauhi cara menyatakan diri sebagaimana adanya alam seperti dituntut dalam realisme dan naturalisme, untuk kemudian melangkah dengan cara yang lebih abstrak, bahkan juga dengan cara simbolik.

Cara Gauguin menstrukturisasi lukisannya juga unik. Dia menempatkan batang pohon melintang secara diagonal yang memisahkan sekaligus mensintesakan dua tema: “the visionaries”, yaitu para perempuan yang menonton dan “the vision” yaitu pergulatan Yakub dan malaikat.

Hermeunitika tradisional tentang kisah pergulatan Yakub dan malaikat ini pada intinya adalah tentang pergulatan manusia memakan buah dari “pohon pengetahuan” (knowledge) setelah mengabaikan “hati nurani” (conscience). Dan apa yang disebut “kemenangan” Yakub sebetulnya adalah kemenangan Allah sendiri yang mau turun dalam rupa malaikat yang “bergulat” dengan manusia, yang dalam kisah ini disimbolisasikan dengan otoritas sang malaikat untuk mengubah nama Yakub menjadi Israel, yang artinya “telah menang bergumul dengan Allah ”. 

Paradoksal memang, Yakub dikisahkan menang tetapi si malaikat punya otoritas untuk mengubah nama. Mengubah nama artinya menjadikan seseorang “manusia baru”.

Jadi batang pohon yang melintang pada lukisan ini adalah simbol dari knowledge itu sendiri, sedangkan pergulatan Yakub dan malaikat adalah simbol dari conscience yang selalu bergulat dalam kehidupan. Lalu apa makna sapi pada lukisan itu? Sapi, selain domba, dalam Perjanjian Lama adalah simbol kurban, simbol penebusan. Kurban tidak dilihat sebagai pujian apalagi rayuan kepada Allah, karena kodrat ke-Allah-an tidak butuh pujian dan rayuan, tetapi lebih kepada sarana manusia untuk masuk dalam kerahiman-Nya, sebab kodrat Allah adalah kasih (Deus caritas est). 

Akan tetapi selain makna biblis dalam Perjanjian Lama itu, sapi adalah juga simbol dari empat orang suci yang dianggap sebagai patron saints untuk wilayah Brittany, mereka adalah: Cornley, Nicodeme, Herbot dan Theogonnie.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun