Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnya menjadi tempat di mana peserta didik dapat berkembang secara holistik, baik dalam aspek intelektual, emosional, sosial, dan budaya. Namun, fenomena yang kita lihat di banyak sekolah di Nusantara justru menunjukkan adanya penekanan berlebihan pada aspek-aspek yang sifatnya atributal, seremonial, dan fisik.Â
Namun, fenomena yang kita lihat di banyak sekolah di Nusantara justru menunjukkan adanya penekanan berlebihan pada aspek-aspek yang sifatnya atributal, seremonial, dan fisik
Aturan mengenai panjang rambut, warna sepatu, dan berbagai kebijakan penyeragaman lainnya sering kali menjadi fokus utama, sementara aspek pengembangan kritis, kreativitas, dan penghargaan terhadap keragaman cenderung terabaikan.Â
Fenomena ini bukan hanya mengganggu esensi pendidikan itu sendiri, tetapi juga mencerminkan warisan dari masa lalu di mana pendidikan digunakan sebagai alat kekuasaan. Apa maksudnya? berikut ulasan dari penulis.
Atributal dan Seremonial: Mengapa Begitu Penting?Â
Tidak dapat dipungkiri bahwa sekolah sering kali terlihat lebih sibuk mengurusi hal-hal yang sifatnya superfisial. Peraturan tentang model rambut misalnya, di mana siswa laki-laki harus memotong rambut dengan model 1-2-1, tidak boleh gondrong dan sebagainya telah menjadi salah satu peraturan yang paling sering diperdebatkan.Â
Sering kali alasan yang diberikan adalah agar siswa terlihat rapi dan disiplin. Namun, apakah benar bahwa panjang rambut atau model bros memiliki korelasi langsung dengan prestasi akademis atau perilaku siswa serta berkaitan dengan pengembangan karakter?Â
Penyeragaman ini tidak hanya terbatas pada rambut dan aksesori. Aturan seragam sekolah yang ketat, termasuk warna sepatu dan tas, menunjukkan betapa sekolah lebih mementingkan penampilan seragam daripada menghargai individualitas dan keragaman siswa.Â
Ini mengirim pesan yang kuat bahwa konformitas lebih dihargai daripada ekspresi diri, yang pada akhirnya dapat membunuh kreativitas dan individualitas siswa.Â
Sebagai ilustrasi, penulis memiliki pengalaman ketika kecil saat diberi tugas menggambar manusia. Penulis ingat bahwa saat itu ada teman yang mewarnai objek gambarnya tersebut menggunakan beragam warna. Alih-laih mendapat apresiasi, justru anak malang tersebut mendapat "kritik halus" dari gurunya: "manusia itu harusnya diwarnai dengan warna cokelat, rambutnya hitam.".
Ilustrasi sederhana bahwa seringkali, pembunuhan kreativitas sudah terjadi sejak dini secara tragis di institusi pendidikan.