Rasa ingin tahu inilah yang terus terpelihara karena proses berdiskusi. Diskusi antar murid dan guru zaman itu yang memunculkan berbagai pemikiran dan teori filsafat, politik, teologi dan bahkan astronomi.Â
Berdiskusi juga merupakan metode pengajaran yang dilakukan Socrates, hingga ia melahirkan tokoh-tokoh pemikir besar yang bermula dari muridnya, Plato.
Salah tapi lumrah di Sekolah?
Belajar dari sejarah, dapat kita petik pelajaran bahwa sekolah adalah tempat untuk seseorang memelihara dan memuaskan rasa ingin tahunya dengan cara berdiskusi.Â
Rasa ingin tahu ini tentu erat kaitannya dengan pengalaman kehidupan individu tersebut.
Dari sejarah kita juga belajar bahwa posisi semua orang adalah setara baik si murid maupun guru, karena proses pendidikan mereka adalah dua arah, yaitu berdiskusi.
Saat ini perlu kita kritisi, proses pendidikan yang seharusnya holistik, relevan dengan kehidupan si pembelajar, dan berjalan dua arah, apakah masih lurus terjadi? Atau ada hal-hal menyimpang yang semakin hari makin dianggap biasa saja?
Anak-anak di sekolah tentu menjadi subyek utama proses pendidikan. Apapun yang menjadi strategi, visi dan upaya di sekolah semata-mata dilakukan untuk perkembangan sang anak. Tentu setiap kita orang dewasa setuju bahwa anak harus berkembang sesuai minat, bakat, dan potensinya.
Namun fenomena saat ini, yang terjadi adalah anak mengalami semacam penghambatan yang tidak disadari dalam proses perkembangannya, yang ironis banyak terjadi di lingkungan sekolah dan kian hari kian lumrah terjadi.Â
Tentu penulis tidak sedang melakukan generalisasi fenomena ini kepada sekolah sebagai institusi pendidikan secara umum.Â
Penulis bermaksud menyampaikan bahwa fenomena ini banyak terjadi di lingkungan sekolah.
Penghambatan seperti apa yang dimaksud?