semua berawal dari sebuah egoisme dan ambisi yang didukung oleh kemampuan super power dalam mengatur sebuah skenario besar. awalnya mereka bersatu dalam sebuah rumah yang dinamakan koalisi sebagai pembeda sebagai pengumuman keras bahwa merekalah yang memiliki power untuk mengatur negri ini. koalisi ini sangat solid bahkan cukup untuk mendamaikan panasnya iklim perpolitikan tanah air hingga akhir tahun 2023.
namun sebuah event besar yang akan dilaksanakan pada tahun 2024 menggelitik para tokoh-tokoh kunci koalisi. ya itu adalah event 5 tahunan di negara ini yang disebut PEMILU, ajang kontestasi perebutan tiket-tiket kekuasaan diseluruh penjuru negri dari mulai terbawah setingkat DPRD hingga DPR RI dan puncaknya tentu saja pemilihan sang pemangku tertinggi kursi kekuasaan eksekutif yang menjadi tonggak pemerintahan yaitu Presiden dan Wakil Presiden.
siapa yang tidak tergiur menjadi sebuah sejarah, siapa yang tidak tergiur prestesiusnya sebutan Presiden dan Wakil Presiden sebuah negara yang memegang kendali pelaksana pemerintahan atas negara ini. semua orang yang memiliki kekuasaan dan kemampuan tentu akan berduyun-duyun memperebutkan posisi ini, termasuk didalamnya para tokoh-tokoh kunci pemegang koalisi yang selama ini solid.
perang dingin dalam koalisi tidak sepenuhnya terlihat oleh masyarakat, namun tindakan-tindakan yang mereka lakukan menunjukkan bahwa koalisi tak lagi solid dan ketika koalisi terpecah menjadi 2 kelompok tentu itulah awal dari sebuah kekacauan. apalagi saat pencalonan kandidat didetik-detik terakhir sebuah amunisi yang tersimpan ditembakkan oleh salah satu kelompok untuk menujukkan kuasanya. amunisi tersebut adalah MK.
MK mengubah aturan persyaratan calon Presiden dan wakil presiden yang semula minimal 40 tahun menjadi 35 tahun. keputusan MK merubah syarat usia ini menimbulkan polemik dan gelombang protes dimana-mana, namun ibarat nasi sudah menjadi bubur itu terlambat ajang PEMILU sudah berproses dan sudah sampai pada titik finish yang menjadi kemenangan mutlak atas kontestasi perebutan kursi eksekutif.
selesainya PEMILU Presiden dan wakil presiden bukanlah akhir dari konflik kedua kelompok ini, akan adalagi event besar ditahun 2024 ini yaitu PILKADA. seolah menjadi pengobat rasa dahaga kekalahan yang telah dialami oleh kelompok ini sehingga mereka akan mengerahkan segala upaya dan segala kekuatan untuk bisa memenangkan pertarungan ini.
tidak ingin kekuasaan mereka dibagi dengan para kelompok yang bersebrangan, koalisi baru yang lebih besar dan kuat pun dibentuk bahkan mampu menarik kelompok oposisi ke sisi yang sama. strategi jitu dalam mengamankan kemenangan mutlak di PILKADA dengan tidak memberikan kesempatan ada kelompok lain yang bisa ikut kontestasi PILKADA.
strategi ini ternyata telah dibaca oleh kelompok lawan, setelah mereka mengumumkan pasangan calon Gubernur dan wakil gubernur DKI dengan dukungan koalisi super besar, tiba-tiba peluru yang dulu dipakai kini diambil lawan. MK mengeluarkan keputusan tentang syarat minimum suara (kursi) untuk pencalonan kepala daerah khususnya DKI yang semula 20% menjadi hanya 7,5%. yang artinya lawan bisa mencalonkan gubernur dan wakil gubernur DKI tanpa koalisi dengan partai lain.
seolah senjata makan tuan, peluru yang dulu digunakan kini justru ditembakkan kearah mereka dan ini sangat berpengaruh pada peluang kemenangan yang sudah didepan mata. hingga saat ini kedua kelompok masih sibuk mengatur strategi perang untuk mengalahkan lawan.
kedua kelompok sama-sama memiliki senjata dan kekuasaan untuk saling menyerang dan saling bertahan, mengingatkanku pada sebuah film yang berjudul KINGKONG vs GODZILLA, sebuah pertarungan oleh tokoh yang sama-sama kuat, dan tentunya yang hancur adalah gedung-gedung dan rumah-rumah disekitar mereka alias rakyat itu sendiri.