Dalam hitungan jam, Ramadhan segera menjelang. Sementara itu, beberapa jam yang lalu sudah ada yang memulainya lebih dahulu. Ada perbedaan memang antara versi pemerintah dan beberapa organisasi islam dalam penentuan kapan dimulainya Ramadhan tahun ini. Saya tidak akan membahas perbedaan itu karena ini bukanlah yang pertama kali terjadi sehingga berbagai pihak yang menentukan awal Ramadhan dan khalayak ramai yang memilih antara keduanya saya yakin sudah saling ada pengertian.
Di masa sekarang dimana keragaman semakin mudah ditunjukkan dan diekspresikan melalui berbagai media sosial rasanya semakin penting untuk membuat apa-apa yang sama lebih sama-sama diperhatikan agar perbedaan yang ada tidak menjadi friksi yang semakin besar. Maka, meskipun di antara kita ada yang memulai puasa di hari yang berbeda namun saya yakin semuanya sepakat bahwa  Ramadhan mulainya tetap tanggal satu, bukan dua atau selebihnya. Dan semoga saja, Idul Fitri nanti tidak ada perbedaan soal tanggal 1 Syawal jatuh dihari apa agar hari besar itu dapat dirayakan secara bersamaan. Konon kata orang-orang yang berpengalaman dalam kehidupan hal terpenting bukanlah bagaimana kita memulainya tetapi tentang bagaimana mengakhirinya.
Satu hal lagi yang saya yakin semua sepakat adalah bahwa Ramadhan selain bulan yang penuh berkah juga menjadi bulan latihan untuk menggapai ketakwaan. Sabar dan syukur akan menjadi dua kata yang terus menggema dalam setiap rangkaian ibadah yang akan kita lakukan selama bulan Ramadhan. Menurut para ulama, dua hal itu adalah kualitas penting yang harus dimiliki oleh orang-orang beriman sebagai prasyarat untuk mampu terus berproses mencapai predikat sebagai manusia yang bertakwa.
Menahan diri dari yang halal dan diperbolehkan dalam jangka waktu tertentu adalah sebuah metode latihan sabar yang berada satu langkah di depan. Apabila kita sudah mampu melakukan itu diharapkan kita menjadi tidak berlebih-lebihan dan pada gilirannya meninggalkan yang haram dan dilarang akan lebih mudah untuk dilakukan. Latihan sabar ini juga akan membuat rasa syukur lebih mudah untuk diresapi. Dalam konteks puasa maka berbagai kenikmatan yang selama ini mungkin telah menjadi hal yang biasa akan terasa lebih mengada sehingga kesadaran akan hal ini akan kembali menyuburkan syukur di hati sebagaimana ungkapan bahwa mengosongkan diri adalah cara terbaik untuk bagaimana kita bisa lebih merasakan isi.
Selain rasa syukur yang kembali subur karena latihan sabar tadi, Â besarnya ganjaran dan berbagai keistimewaan yang diberikan Allah dalam bulan ramadhan adalah hal yag patut untuk direnungi. Apakah tambahan ganjaran dan keistimewaan itu akan disikapi dengan rasa syukur yang dibuktikan melalui peningkatan kuantitas dan kualitas ibadah yang dilakukan dibanding hari biasa atau akan diperlakukan sama saja? Pilihan sikap ini akan menentukan bagaimana kita menerjemahkan rasa syukur itu. Disinilah ungkapan syukur itu akan berkelindan dengan kesabaran karena untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah diperlukan upaya dan pengorbanan yang menuntut kesabaran kita dalam menjalaninya.
Sabar dan syukur ini sungguh unik sebenarnya. Meskipun keduanya dapat dilatih secara terpisah namun keduanya saling menguji dan melengkapi. Orang-orang yang mampu bersabar akan diuji dengan kemudahan sedangkan orang-orang yang pandai bersyukur diuji dengan kesulitan. Sejauh mana orang-orang yang bersabar tidak terlena oleh kemudahan yang datang dan orang-orang yang pandai bersyukur tidak mudah ingkar karena kesulitan yang ada akan menentukan kualitas tingkat sabar dan syukurnya.
Kualitas sabar dan syukur yang dimiliki seseorang akan sangat membantu dalam menjalani kehidupan yang seimbang. Meski tampak berseberangan, dalam prakteknya, sabar dan syukur ini tidak bisa jalan berlama-lama jika sendiri. Seseorang hanya mampu bersabar lama dengan kesulitan jika dalam hatinya terselip rasa syukur bahwa masih banyak orang lain yang lebih sulit darinya atau masih banyak kenikmatan yang patut ia syukuri dibanding kesulitan yang dialami. Demikian pula seseorang tidak dapat terus bersyukur jika dalam kehidupannya tidak mampu terus berbagi. Kemampuan untuk terus berbagi kepada orang lain atas kenikmatan yang diperolehnya ini membutuhkan kesabaran untuk  menahan diri dari dorongan keegoisan. Kesabaran akan memudahkan kita untuk meraih syukur dan bersyukur yang benar akan mendorong kita untuk bisa bersabar.
Hal menarik dari ibadah puasa ini adalah selain untuk meningkatkan kualitas diri dan hubungan pada Ilahi namun juga hubungan antara sesama manusia. Hal itu tercermin dari adanya rangkaian ibadah menunaikan zakat fitrah dan kegembiraan bersama dalam Hari Raya Idul Fitri. Tidak boleh ada orang yang tidak makan dan bersedih saat hari raya. Sabar yang hadir dari Ramadhan diharapkan menumbuhkan kepekaan dan empati kepada orang-orang yang kurang beruntung dan rasa syukur diwujudkan dengan semakin banyak berbagi seraya menahan diri dari menikmati sendiri segala karunia yang ada.
Terakhir, keseimbangan pribadi sebagai dampak dari kualitas sabar dan syukur yang dimiliki insan yang beriman membuatnya tidak mudah tergoda dan tidak mudah terlena sehingga memudahkan jalan menuju ketakwaan. Sabar dan syukur diperlukan untuk dapat konsisten dalam menjalankan perintah dan meninggalkan larangan yang telah digariskan. Kualitas pribadi-pribadi ini pada akhirnya secara kolektif akan memberikan sumbangan nyata dalam menjaga keseimbangan dan kedamaian masyarakat dengan nilai-nilai empati dan berbagi yang tumbuh didalamnya.
BK,02042022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H