Mohon tunggu...
Jhon Torr Lambene
Jhon Torr Lambene Mohon Tunggu... Administrasi - Sepi bukanlah soal kesendirian tetapi tentang merasa sendiri..

Berharap melihat yang tak terlihat, mendengar yang tak terdengar. Merindu keheningan yang agung..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Minyak Garong

18 Maret 2022   06:52 Diperbarui: 19 Maret 2022   15:03 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minyak dan garong, menggabungkan dua kata itu tidak kusangka akan menimbulkan nuansa yang 'membagongkan'. Tidak seperti minyak dan goreng yang ketika digabung masih berkesesuaian, minyak dan garong seakan menolak untuk disatukan. Satu sisi minyak merupakan bahan pokok yg sangat dibutuhkan masyarakat sedangkan garong adalah entitas jahat yg mengambil milik orang banyak.

Sulit untuk menemukan makna apa yang mengemuka dengan mendekatkan keduanya. Kebanyakan penggabungan kata lain dengan minyak adalah dalam kaitan satu menjelaskan yang lain baik soal asal atau tentang kegunaan. Minyak bumi untuk minyak yang berasal dari bumi atau minyak untuk menggoreng sebagai penjelasan dari minyak goreng.

Lalu bagaimana dengan minyak garong? Minyak dari garong atau minyak untuk menggarong? Atau adakah makna baru yang muncul dari penggabungan dua kata itu? Apakah fenomena kelangkaan minyak goreng tempo hari yang menyebabkan kenaikan harga hingga pemerintah 'terpaksa' mencabut Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng bisa jadi kisi-kisi makna yang sedang kita cari?

Sejak HET minyak goreng dicabut pemerintah, minyak goreng kembali marak di toko-toko dengan harga yang bikin melongo. Rakyat di negeri yang sejak 2006 menjadi penghasil minyak sawit nomor satu dunia ini harus menerima kenyataan bahwa jawaban atas kelangkaan adalah dengan cara menaikkan harga. Ralat, harga bukannya naik tapi minyak kemasan akan mengikuti harga pasar atau keekonomian.

Konon sudah banyak yang membahas cerita dibalik berita. Soal hagemoni oligarki bahkan konspirasi apa yang terjadi jauh sebelumnya hingga kondisi seperti ini bisa terjadi. Saya tidak terlalu tahu tentang itu. Yang saya tahu bisnis menjual minyak goreng itu pasti bisnis yang bagus dan menguntungkan. Itulah mengapa pertambahan luas perkebunan sawit semakin membuat hutan-hutan tercekik. Karena ini adalah menyangkut perkebunan dan industri skala besar, tidak banyak pemain utamanya. Berdasarkan laporan organisasi swadaya masyarakat Transformasi untuk Keadilan Indonesia (Tuk Indonesia) tahun 2019 sebagaimana dikutip oleh detik.com, mayoritas lahan sawit dikuasai hanya oleh 25 konglomerat.

Sebagai bahan pokok kebutuhan sehari-hari masyarakat, minyak goreng memberi jaminan jumlah permintaan yang besar dan konsisten bagi para produsen. Keuntungan seperti sudah ada di depan mata. Marketing dan promosi rasanya bukan bagian dari strategi utama. Hal terpenting adalah bagaimana melakukan efisiensi biaya produksi dan olah strategi untuk mendapatkan tingkat harga yang akan memberikan banyak keuntungan. Maka penetapan kisaran tingkat harga yang wajar oleh Pemerintah adalah sebuah upaya menjaga keseimbangan agar produsen tetap untung namun masyarakat tidak membayar berlebihan mengingat produksi Crude Palm Oil (CPO) kita yang jauh melebihi kebutuhan dalam negeri.

Menurut siaran pers Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) sebagaimana dikutip Kontan.id (30/1),  produksi CPO tahun 2021 adalah sebanyak 46,88 juta ton sementara kebutuhan dalam negeri baik itu untuk kebutuhan industri makanan termasuk didalamnya sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng, biodiesel maupun oleokimia hanya 18,42 juta ton. Produksi CPO lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan pasar luar negeri dimana volume ekspor Indonesia di tahun yang sama adalah sebanyak 34,2 juta ton. Untuk tahun 2022 Gapki memproyeksikan produksi CPO Indonesia meningkat dari tahun sebelumnya.

Dengan kondisi seperti itu, rasanya cukup beralasan jika masyarakat memiliki harapan akan adanya jaminan ketersediaan minyak goreng dalam rentang harga yang wajar dan terjangkau. Seberapa besar peran dan kehadiran pemerintah dalam hal ini tentu akan menjadi catatan penting yang akan terus menjadi perhatian. Bagi produsen, mencari keuntungan adalah sebuah keniscayaan namun menangguk keuntungan sebesar-besarnya dari posisi lemah konsumen menjadi seperti bentuk lain dari cara memperdaya. Jika ini terus berkelanjutan tanpa ada upaya-upaya yang signifikan dari pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyeimbangkannya, saya khawatir pada akhirnya masyarakat bisa jadi akan ada yang berfikir  bahwa bisnis formal yang terlihat dari para produsen besar itu memang menjual namun sesungguhnya yang tengah dilakukan adalah menggunakan kekuatan penguasaan produksi kebutuhan pokok untuk melakukan penggarongan massal.

Stabilitas harga minyak goreng pada kisaran harga yang wajar merupakan hal yang perlu dan penting sebagaimana juga bahan pokok lainnya karena itu merupakan kebutuhan dasar yang membuat masyarakat tidak punya pilihan selain membeli. Penguasaan dominan pihak-pihak tertentu atas apa-apa yang menguasai hajat hidup orang banyak apalagi terhadap sesuatu yang tumbuh di bumi negeri sendiri sangat rawan dimanfaatkan hanya untuk kepentingan dan keuntungan segelintir orang atau golongan.  Jangan sampai kemudian ada yang berkesimpulan bahwa judul tulisan ini maknanya adalah menjual minyak untuk menggarong.

BK,180322

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun