Mohon tunggu...
Jhon  sibarani
Jhon sibarani Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Politik USU, Penikmat Kopi,

mengisi kekosongan waktu dengan menulis, suka berdiskusi dan bertanggung jawab sebagai SEKJEND di sebuah Kelompok Aspirasi Mahasiswa ( KAM ) BHINNEKA USU

Selanjutnya

Tutup

Politik

Nasib Para Petani dan RUU Pertanahan

7 Juni 2020   14:00 Diperbarui: 7 Juni 2020   21:52 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita mengetahui bahwa Indonesia merupakan negara agraris. Dengan jumlah 7,1 juta hektar sesuai data dari BPS yang dirilis terakhir pada 2018. Dengan lahan seluas ini, pembaca mengira bahwa semuanya itu dikelolah oleh petani secara keseluruhan dan banyak orang yang ingin menjadi petani. Akan tetapi semuanya itu tidak sesuai dengan yang kita bayangkan, bahwa menurut data BPS terakhir pada tahun 2018 terjadi penurunan jumlah petani di Indonesia. Jumlah petani yang rendah berpotensi mempengaruhi produksi komuditas pangan nasional. Kesenjangan akan terjadi jika jumlah permintaan terlalu tinggi dan jumlah produksi yang terlalu rendah sehingga menyebabkan tingginya harga komuditas pangan di pasar. Semua hal tersebut terjadi dikarenaka adanya tren urbanisasi. Urbanisasi tersebut banyak dilakukan kalangan anak muda didesa yang ingin merubah taraf ekonomi mereka. Hal ini menyebabkan kurangnya minat masyarakat dalam mengelolah sektor pertanian.

Pada periode awal masa kepemimpinan Joko Widodo, terdapat Sembilan agenda prioritas yang diberi nama "Nawacita" salah satu agenda yang termuat dalam Nawacita adalah membuat kebijakan Agraria berupa agenda Reforma Agraria dan strategi pembangunan Indonesia dari pinggiran yang dimulai dari daerah dan desa. Melalui kebijakan ini diharapkan terjadinya pembenahan agraria berupa, "Menjamin kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi penuntutan kembali hak tanah masyarakat guna meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.

Hal tersebut diwujudkan dengan lahirnya peraturan presiden nomor 45 Tahun 2016 tentang rencana kerja pemerintah tahun (RKP) 2017. Di dalam RKP 2017 ini, Reforma agraria menjadi salah satu prioritas nasional yang dijalankan oleh pemerintah pusat hingga daerah, yang dijalankan dalam kesatuan enam aspek, yakni:

  • Penguatan kerangka regulasi dan penyelesaian konflik agraria.
  • Penataan penguasaan dan pemilikan tanah obyek reforma agraria.
  • Kepastian hukum dan legalisasi hak atas tanah objek reforma agrarian.
  • Pemberdayaan masyarakat dalam penggunaan, pemanfaatan dan produksi atau  tanah obyek reforma agraria.
  • Pengalokasian sumber daya hutan untuk dikelola oleh masyarakat.
  • Kelembagaan pelaksana reforma agraria pusat dan daerah dengan adanya kebijakan reforma agraria.

Dalam realita sebenarnya kurang efektifitas pemerintah dalam menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi. Program Kepemilikan Tanah Seluas 9 Juta hektar ini masih termasuk dalam implementasi dari land reform dimana bertujuan agar setiap warga negara mempunyai kesempatan untuk memiliki tanah, sebagai tempat menetap atau sebagai tempat memperoleh sumber penghidupan secara layak. Dalam program ini terbagi menjadi 2 sub program yang dijalankan yakni 4,5 Hektar diperuntukkan legalisasi aset dan 4,5 Hektar diperuntukkan dalam program redistribusi Tanah. Maka dari itu, dengan adanya kebijakan pemerintah dengan membagikan sertifikat tanah secara gratis kepada masyarakat di daerah-daerah dianggap sudah menyelesaikan masalah yang terjadi. Namun, program agraria ini  belum dapat dikatakan sebagai program yang berhasil karena dalam pembagiannya tidak merata dan masih hanya segelintir orang saja. Masih banyak konflik-konflik yang belum deselesaikan oleh pemerintah khususnya di sektor perkebunan yang selalu menempati posisi pertama dalam konflik agraria. Konsorium pembaruhan agrari mencatat sedikitnya telah terjadi 1771 letusan konflik agraria di Indonesia pada tahan 2015-2018. Sebanyak 642 konflik agrarian terjadi di sektor perkebunan yang melibatkan hak guna usaha-hak guna usah perusahan negara dan swasta. Pemerintah jokowi-Jk selalu beragumen bahwa telah menjalankan reform agrarian melalui redtribusi tanah 9 juta hektar yang dibagi ke dalam 4,5 juta hektar redtribusi tanah dan 4,5 juta hektar legalisasi tanah kepada petani dan rakyat kecil. Dalam realisasinya belum menyasar kepada akar masalah dan kurangnya partisipasi rakyat dalam menyikapi hal ini.

Sungguh ironis banyak konflik agraria yang terjadi tetapi tidak ada sebuah penyelesaian yang serius dilakukan pemerintah dalam menyikapi hal tersebut. Temasuk semakin maraknya pembakaran hutan tiap tahun yang menyebabkan rusaknya ekosistem serta polusi udara juga masih saja terjadi. Peran pemerintah sangat kurang dalam melihat fenomena tersebut, kian banyaknya pembebasan lahan untuk perkebunan sehingga banyak masyarakat mempertanyakan terkait hak guna usaha yang sering menjadi akar permasalahan di sektor agraria.

ruu-pertanahan-2-5edcfd25d541df6476626892.jpg
ruu-pertanahan-2-5edcfd25d541df6476626892.jpg
Masih kontroversial!

Ruu pertanahan masih menjadi pembahasan bagi tiap orang yang melihat proses pembuatan undang-undang tersebut dan pengesahannya. Isi pasal yang sangat tidak elok menyebabkan masyarakat yang kurang sepakat dalam hal ini. Timbul pro kontra yang terjadi di tengah masyarakat menyikapi ruu yang telah dicanangkan ini. Banyak ketimpangan yang terjadi dalam isi pasal di ruu tersebut.

Dalam pasal 42-45 ruu pertanahan dijelaskan bahwa  tidak memiliki prinsip menyelesaikan konflik, sumber kesejahteraan rakyat, mengatasi kemiskinan, dan pertimbangan ekologis. Penyimpangan konstitusi dan UUPA terdapat hampir seluruh bab dan pasal ruu tersebut. Prinsip reforma agraria adalah keadilan, kemanusiaan, dan kedaulatan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (UUPA). Dalam ruu tersebut juga dijelaskan bahwa pemerintah dapat menerbitkan hak pengelolaan (HPL) tanah berbasis hak menguasai negara. pemerintah juga memiliki hak untuk menertibkan tanah yang legalitasnya tidak bisa dibuktikan untuk kemudian menjadi tanah negara. ini menjadi polemic ditengah masyarakat khususnya para petani di Indonesia.

Dalam pasal 25 RUU Pertanahan  berisi tentang  bahwa mengubah perpanjangan hak guna usaha ( HGU ) dari 35 tahun menjadi bisa diperpanjang dua kali sehingga total mencapai 90 tahun. Padahal , UUPA menyebutkan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) hanya bisa dilakukan sekali saja. Hal ini juga menyebabkan reaksional masyarakat yang tidak kunjung selesai. Kita ketahui akar permasalahan konflik agraria terjadi dikarenakan permasalahan hgu yang kian tak jelas ditambah ruu yang mengubah bahwa HGU tersebut dapat diperpanjang hingga dua kali.

Pada  pasal 79-81 RUU Pertanahan terkait sistem pengadilan pertanahan. Pembentukan pengadilan pertanahan tak bisa menyelesaikan konflik agraria structural yang selama ini terjadi. Justru, pembentukan pengadilan pertanahan hanya semakin melemahkan posisi petani, masyarakat miskin, dan masyarakat adat atas tanah mereka. Alasannya, melalui pengadilan pertanahan yang akan diutamakan adalah masalah legalitas. Padahal, banyak tanah petani, masyarakat miskin dan tanah adat diukur bukan berdasarkan legalitas melainkan prinsip keadilan sosial, pemulihan hak, dan historis penempatan tanah secar turun temurun.

Sering terjadi  ancaman kriminalisasi kepada masyarakat yang hendak berusaha mempertahankan tanahnya dari penggusuran. Ada ancaman pidana 15 tahun penjara dan denda maksimal 15 miliar bagi setiap orang atau kelompok yang menyebabkan sengketa lahan yg diatur pada pasal 94 ruu pertanahan. Pasal-pasal itu berpotensi dapat mempidanakan petani, masyarakat miskin, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun