Pada April 2021 lalu, saya berkunjung ke Desa Kabalutan, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah. Desa Kabalutan dikenal sebagai Kampung Janda karena di desa ini terdapat banyak janda muda. Pada 2016, dari 2.421 jumlah penduduk, terdapat 141 janda muda yang berusia produktif 15 -- 30 tahun (timesindonesia.co.id, 16/10/2016).Â
Penyebab wanita menjanda di desa ini karena kematian, perceraian, dan ditinggal suami. Wanita di Kabalutan  tidak mau atau dilarang keluarga meninggalkan kampung halaman untuk mengikuti suami keluar dari pulau ini (palu.tribunnews.com, 11/02/2023).Â
Dalam tulisan ini saya tidak akan fokus membahas soal janda, tetapi menguraikan kehidupan penduduk di Desa Kabalutan. Selama lima hari di sana, saya menemukan beberapa hal menarik terkait kehidupan Orang Bajau yang dikenal sebagai orang laut.
Mayoritas penduduk di Desa Kabalutan adalah orang Bajau, yang hidup dari sektor perikanan dengan profesi sebagai nelayan. Mereka menggantungkan hidup dari hasil laut. Hasil tangkapan mereka terutama adalah ikan dan teripang. Dulu mereka menggunakan perahu sebagai tempat tinggal, sarana untuk menangkap ikan, dan transportasi. Tetapi kini orang Bajau sudah menetap dan membangun pemukiman di atas laut atau di pinggiran pantai. Bahkan dalam perkembangnnya, sebagian dari mereka telah membangun rumah di darat. Permukiman orang  Bajau di Kabalutan terdiri dari sekitar 90% di perairan dan 10% di daratan. Mereka memanfaatkan kayu dan hasil hutan lainnya sebagai bahan membangun rumah.
Selain membangun pemukiman di atas air, sebagian dari penduduk membangun pemukiman di tengah gugusan karang yang memiliki kawasan berpasir. Â Keberadaan karang tidak hanya menyangkut ketersediaan sumber daya, tetapi juga dapat dijadikan sarana perlindungan dari terpaan badai dan gelombang pasang yang sering kali datang tiba-tiba.Â
Selama lima hari atau empat malam di Kabalutan, saya tinggal di rumah Pak Arnol. Rumahnya berada di atas air, sehingga saya selalu melihat banyak ikan di bawah rumahnya. Di depan rumah panggung Pak Arnol terdapat jembatan kayu yang menghubungkannya dengan rumah yang lain. Jembatan kayu itu menjadi lalu lintas pejalan kaki. Meskipun demikian, beberapa rumah tidak terhubung dengan jembatan, sehingga penghuninya harus menggunakan perahu  menuju pemukiman penduduk yang lain.Â
Â