Indonesia, sebagai negara berkembang dengan populasi yang besar dan ekonomi yang dinamis, selalu menghadapi berbagai tantangan dalam menjaga stabilitas ekonomi dan kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu metode yang digunakan pemerintah untuk mengelola ekonomi adalah melalui sistem perpajakan. Pajak, termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), menjadi sumber pendapatan utama bagi negara yang dipergunakan untuk mendukung berbagai program pembangunan dan layanan publik.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, rasio pajak Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain, yang rata-ratanya bahkan mencapai 27,8%. Pada tahun 2021, rasio pajak di Indonesia mencapai hanya 9,11% dari PDB. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah melakukan penyesuaian tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022. Namun, langkah ini ternyata masih tidak cukup untuk mendukung penerimaan perpajakan secara optimal dan berkelanjutan.
Reformasi Perpajakan
Pada 14 Maret 2024, pemerintah merencanakan penyesuaian tarif PPN dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025. Sejak diberlakukan pada tahun 1984, Indonesia belum pernah menyesuaikan tarif PPN, meskipun data OECD Revenue Statistic menunjukkan 37 negara telah meningkatkan tarif PPN dalam dekade terakhir. Sementara itu, tarif PPN Indonesia relatif lebih rendah secara global dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya, seperti India (18%), Filipina (12%), dan China (13%). Selain itu, c-efficiency PPN Indonesia masih berkisar di sekitar 63,58%.
Karena itu, penyesuaian tarif bertujuan untuk memaksimalkan penerimaan pajak negara untuk membangun dasar perpajakan yang kuat, dan merupakan bagian integral dari upaya reformasi perpajakan di Indonesia. Sebagai bagian dari reformasi tersebut, penyesuaian tarif PPN didampingi oleh upaya pemerintah untuk mendukung masyarakat rentan dan UMKM. Ini termasuk penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk individu dengan penghasilan kena pajak (PKP) antara Rp50 juta dan Rp60 juta dari 15% menjadi 5%. Selain itu, pemerintah memberikan pembebasan pajak untuk pelaku UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta. Langkah-langkah ini didukung oleh berbagai insentif yang diberikan kepada pelaku usaha melalui program pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Sebaliknya, pemerintah memutuskan untuk meningkatkan tarif PPh pada golongan tertinggi dari 30% menjadi 35% bagi individu dengan penghasilan di atas Rp5 miliar per tahun. Pemerintah juga memutuskan untuk mempertahankan tarif PPh badan sebesar 22%, sambil menerapkan pajak karbon sebagai upaya untuk mendukung pelestarian lingkungan.
Penerimaan Negara
Kenaikan tarif PPN diharapkan akan meningkatkan penerimaan pajak dalam waktu sembilan bulan ke depan, dengan PPN umum diperkirakan mencapai Rp40,7 triliun dan PPN khusus sebesar Rp3,7 triliun. Dampak dari peningkatan tarif ini terhadap inflasi juga diperkirakan rendah, hanya sekitar 0,4%.
Dalam keseluruhan, langkah-langkah penyesuaian tarif PPN serta kebijakan perpajakan lainnya yang diimplementasikan pemerintah Indonesia merupakan bagian dari upaya serius untuk memperkuat pondasi perpajakan negara, meningkatkan penerimaan pajak, dan mendukung berbagai sektor, termasuk masyarakat rentan dan UMKM. Dengan peningkatan ini, diharapkan terjadi peningkatan signifikan dalam penerimaan pajak dalam waktu sembilan bulan mendatang, tanpa memberikan dampak inflasi yang berarti. Ini adalah langkah progresif dalam reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan bagi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H