Tragedi Singkil jelas membukakan mata batin seluruh umat di Indonesia terutama umat kristiani yang tertindas. Betapa tidak, rumah ibadah dan beberapa rumah umat Kristen di Singkil, Aceh dibakar oleh kaum yang tidak bertanggungjawab sehingga menimbulkan trauma yang sangat berat bagi para penduduknya. Trauma ini menimbulkan tekanan batin sehingga membuat warga yang tertindas dan takut akan ancaman selanjutnya memilih migrasi ke wilayah aman terdekat, yaitu di tapanuli tengah dan beberapa wilayah yang aman di Sumatera Utara.
Pembakaran gereja adalah hal yang lumrah di Indonesia sampai pemerintahpun tak berani mengambil tindakan yang tegas atas kasus ini. Tindakan yang berkedok Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah alasan terkuat mengapa begitu banyak gereja yang dibakar di Indonesia. Soal keadilan itu sendiri, jika ditelisik lebih adil dan dalam, apakah semua masjid dan mushola di Indonesia memiliki IMB yang resmi? Saya rasa tidak juga. Tetapi, mengapa alasan IMB tidak mampu menyentuh masjid, mushola, serta bangunan ibadah mayoritas lainnya di Indonesia? Sedangkan gereja dengan begitu mudahnya dibakar begitu saja?
Saya tidak tahu mengapa ketika sebuah masjid di Tolikara dibakar oleh pihak yang tidak jelas teridentifikasi menjadi berita yang sangat heboh diseatero negeri ini sampai-sampai banyak umat islam yang mengumpulkan dana dengan mengamen (saya lihat sendiri), berjihad ke papua, media-media begitu heboh, sampai beberapa menteri negara meninjau langsung tempat tersebut. Bagaimana dengan tragedi Singkil? Sejauh ini hanya Kapolri yang meninjau langsung (Badrodin Haiti) ke Singkil, bagaimana dengan aparatur negara yang lainnya? Apakah negara diam dengan migrasi penduduk Singkil yang berumat kristiani lebih dari 4.000 jiwa? Bukankah ini salah satu migrasi terbesar sejak Indonesia merdeka karena konflik?
Tanpa menyalahkan siapapun, Indonesia memang benar-benar tidak memiliki pegangan soal perbedaan, terutama perbedaan agama. Agama mayoritas (Islam) pada faktanya tidak rela menjadi korban dari pluralisme itu sendiri meski mereka mengetahui dan memahami apa itu makna dari pluralisme. Akibatnya, umat minoritas menjadi terancam dan tertekan disana-sini seperti sulitnya mendapat izin mendirikan rumah ibadah bagi umat minoritas, sulitnya mendapat lapangan pekerjaan bagi umat minoritas, sulitnya menduduki jabatan strategis tertentu bagi umat minoritas, dan sulitnya melakukan mobilisasi sosial.
Pada dasarnya kita disatukan oleh Pancasila dengan tulisan “Bhinneka Tunggal Ika” serta sila dari Pancasila dan UUD itu sendiri yang menjamin hak warga negara sebagai seorang manusia pada umumnya, yaitu bebas menuntut dan melaksanakan haknya. Beberapa tahun kebelakang, dunia memberikan apresiasi atas prestasi presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menyatukan perbedaan dalam suatu kesatuan yang teratur. Tetapi, itu hanyalah kulit negara Indonesia saja. Mereka tidak melihat didalamnya seperti apa ruwetnya hubungan antar agama di Indonesia. Memang kelihatan berwarna dan menyatu, tetapi hati tidak bisa berbohong, pluralisme hanyalah sebatas retorika dan tulisan diatas kertas.
Apa Yang Harus Kita Lakukan?
Soal pluralisme, semua umat harus menyadari (terutama umat mayoritas) bahwa pada dasarnya manusia itu sama. Lahir telanjang tanpa identitas agama tertentu, menghirup udara yang sama, sama-sama makan nasi, dan yang pasti, yang menciptakan kita juga hanya satu, Tuhan Allah sang pencipta semesta. Kesadaran itu perlu ditanamkan dalam diri masing-masing agar hubungan antar umat dapat terjalin dengan baik (bukan hanya terlihat baik). Toh bumi yang kita pijak ini juga bukan milik kita, jadi mengapa harus membakar dan mengusir manusia (kaum minoritas) dari tempat yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka? Bukankah itu sama saja dengan merusak keindahan yang telah dibangun oleh Tuhan dan dikaryakan kepada manusia?
Kita memiliki Pancasila yang sangat universal dan mampu merangkul semua pihak tanpa terkecuali. Rasa nasionalisme yang telah kabur perlu diperkuat kembali agar nilai-nilai keberagaman dalam kebangsaan dapat menjadi terikat kembali dalam diri semua masyarakat. Meski agama menjadi nomor satu dalam kehidupan, tetap hargai manusia apa adanya karena mereka adalah ciptaan Tuhan. Jika anda mengkafirkan manusia (ciptaan Tuhan) itu, maka anda telah mengkafirkan Tuhan itu sendiri. Jika anda menghargai manusia (ciptaan Tuhan) itu, maka anda ikut mengharga Tuhan anda sendiri.
Jadi, cinta sesama adalah wujud cinta kepada Tuhan. Biarkan saja kata “pluraslime” itu terbuang ke dasar sungai yang terdalam agar hanyut ke alam samudera tetapi cinta sesama tetap harus ada dan menjadi pertaruhan mutlak bagi kita untuk menghargai dan memuji karya Tuhan Allah, Pencipta Alam semesta. Jika agama adalah ciptaan Tuhan, kenapa kita harus merusak agama orang lain? Renungkanlah baik-baik.
Oleh : Jhon Miduk Sitorus.