Polemik sertifikasi perkawinan tak kunjung selesai ditengah masyarakat karena berbagai macam persepsi negatif terhadap wacana pemerintah ini. Satu hal umum yang dianggap menjadi efek dari sertifikasi perkawinan adalah mempersulit urusan pribadi masyarakat.
Masyarakat banyak beranggapan bahwa kata sertifikasi berarti harus ada proses yang dilalui untuk mendapatkan sertifikat nikah tersebut.
Anggapan tersebut sepenuhnya tidak benar. Sertifikasi perkawinan justru semakin mempermudah masyarakat dalam melakukan perencanaan nikah, perencanaan rumah tangga, kesehatan, finansial, hingga masalah masa depan anak.
Jadi, persepsi tersebut jauh berbanding terbalik dengan tujuan pemerintah mengadakan sertifikasi perkawinan ini.
Dari pemerintah itu sendiri, sertifikasi perkawinan secara spesifik dan khusus bertujuan untuk mempersiapkan sumber daya manusia (SDM) yang unggul, memberikan bekal terutama aspek keagamaan hingga kesehatan, memberikan pemahaman kesehatan alat reproduksi dan penyakit berbahaya, memberi pemahaman masalah gizi dan stunting anak dan menekan angka perceraian.
Dari berbagai tujuan tersebut, pemerintah berpandangan bahwa masyarakat memang perlu dididik dalam berbagai aspek sebelum para calon pasangan memantapkan niatnya untuk menikah.
Dari sisi pengembangan SDM, upaya pemerintah dalam membangun SDM yang unggul dan maju merupakan fokus pemerintahan Jokowi-Amin pada periode 2019-2024 setelah pada periode pertama fokus dalam pembangunan infrastruktur.
Pembangunan manusia dimulai dari bimbingan calon suami-isteri agar bisa mendidik anak dengan cara yang baik sehingga kedepan menjadi generasi penerus bangsa yang cerdas.
Pemerintah juga membekali bekal keagamaan hingga kesehatan secara berimbang agar pasangan yang akan menikah memiliki pemahaman yang mumpuni dalam menyeimbangkan sisi spiritual dengan aktivitas sehari-hari.
Hal berikut yang menjadi perhatian pemerintah adalah soal kasus perceraian yang masih sangat tinggi di Indonesia. Perceraian jelas sangat tidak baik bagi keharmonisan keluarga, terutama anak yang pada dasarnya membutuhkan kasih sayang kedua orang tua.
Sepanjang tahun 2018, menurut Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung ada 375.714 kasus perceraian dan ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Tingginya kasus perceraian ini disebabkan oleh ketidaksiapan dalam menjalani hubungan rumah tangga baik secara mental, finansial dan sikap saat menghadapi masalah.