Mungkin banyak warga Jakarta yang merasa "dikibuli" oleh Anies Baswedan akibat hal ini. Entah apa tepatnya disebutnya, entah patung atau monumen, tetapi patung yang ada di Bundaran HI Jalan Thamrin, Jakarta Pusat ini hanya bertahan 11 bulan saja. Belum genap setahun, tetapi sudah dicopot. Dicopot bukan hanya sekedar diangkat, tetapi dicabik-cabik dan di potong-potong hingga menjadi lebih mirip bahan kayu bakar untuk memasak "kerak telor" di kota tua.Â
Warga Jakarta mungkin akan semakin melongo, karena biaya untuk membuat monumen mesum tersebut harus menelan biaya hingga Rp 550 juta atau lebih dari setengah Miliar rupiah. Coba pikirkan, bambu macam apa yang semahal itu dan sudah mulai lapuk dalam kurun waktu 11 bulan?Â
Jika dulu alasan estetika dan seni dari monumen tersebut, kok bisa lapuk secepat itu? apakah dibuat dari bambu murahan dan harganya di mark up oleh Anies Baswedan atau dinas terkait? Entahlah, biar Anies saja yang tahu.
Setelah monumen "mesum" (monumen mesum karena jika diperhatikan dari atas sekilas sedang menggambarkan dua insan yang bersenggama dengan gaya samping berhadap hadapan dengan paha saling menindih) dirubuhkan, apa yang didapatkan oleh warga Jakarta? Paling  mungkin jadi kayu bakar, tapi untuk apa? warga jakarta sudah menggunakan kompor gas. Akankah Anies barangkali membagikannya ke 58% loyalisnya yang dulu? barangkali iya, karena ini adalah simbol dari "bahagia warganya", semua dapat bagian, sisa monumen mesum.
Pelajaran Berharga
Mendirikan monumen yang lebih kerap jadi lelucon bagi warganet daripada melahirkan pujian seperti karya yang dilakukan oleh Jokowi sebelumnya tentu adalah sebuah upaya pencitraan yang gagal. Anies tahu bahwa dirinya bukanlah subjek perbandingan apalagi jika harus dibandingkan dengan pendahulunya, Basuki Thahaja Purnama (Ahok). Anies yang sudah terlanjur menjadi bagian dari politik identitas tentu akan segan dan sungkan untuk berterimakasih kepada Ahok, apalagi meminta saran atas solusi permasalahan di DKI Jakarta.
Jika diperhatikan dari sudut pandang estetika dan seni, mestinya perlu berpikir ulang jika ingin meletakkan monumen aneh tersebut di depan patung selamat datang karya Ir. Soekarno yang sampai sekarang berdiri kokoh dan gagah. Mestinya Anies membuat patung yang lebih gagah dari berbagai patung sepanjang Thamrin hingga Sudirman agar pekerjaannya tidak sia-sia seperti sekarang.Â
Uang 550 juta tentu bukan uang dari daun yang berjatuhan, itu adalah uang dari keringat warga DKI. Bundaran HI merupakan pusat Jakarta, pusat Indonesia dengan segala ikon bangunannya yang dilewati oleh para petinggi negara lain saat berkunjung ke Indonesia.
Jika warga Jakarta sadar, mestinya membuang uang dalam kurun waktu 1 tahun dengan cuma-cuma adalah salah satu bagian dari menghambur-hamburkan uang. Coba pikirkan, kayu bambu yang sudah rapuh dan dipotong-potong itu akan jadi apa? Sudah pasti akan dibakar, jadi abu dan arangnya untuk apa? jadi tanah. Uang 550 juta jadi tanah, diperlukan gaji lebih dari 50 guru honorer untuk mengumpulkan sebanyak itu dalam satu tahun, Miris!
Monumen "mesum" yang berumur pendek ini mestinya jadi pelajaran berharga agar tak sembarangan membuat ikon di tengah kota apalagi pusat ibu kota sebuah negara. Karya itu mestinya bukan "asal jadi" atau "asal ada". Karya itu mestinya dipertimbangkan "tupoksinya" seperti apa. Dasar pendiriannya seperti apa, juga dipikirkan sudut pandang berbagai sisi dan pandangan keilmuan agar tidak sia-sia. Ini tak ada ubahnya dengan proyek Hambalang yang mangkrak pada zaman SBY.