Utang Luar Negeri Indonesia sudah mencapai angka Rp 3.958,7 Triliun atau hanya terpaut Rp 41,3 Triliun dari angka Rp 4.000 Triliun per  Maret 2018. Angka ini bukan tidak mungkin bertambah secara pasif jika nilai fluktuasi Dollar terhadap Rupiah semakin menguat, apalagi akhir-akhir ini Dollar AS sedang menunjukkan dominasi kenaikan nilai terhadap sejumlah mata uang.
Meski Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu khwatir soal besarnya Utang luar negeri ini ditambah dengan argumennya bahwa kekhwatiran soal dampak dari utang luar negeri merupakan strategi dari pihak-pihak yang ingin mengadu domba masyarakat dengan pemerintah soal kesepahaman soal utang luar negeri, tetapi mau tidak mau sikap waspada terhadap dampak buruk utang luar negeri juga memang perlu dipertimbangkan sejak dini secara matang.
Berdasarkan perhitungan, angka rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau Government -- debt ratio (GDR) memang masih berada di angka 29,2%. Persentase tersebut terhitung masih sangat jauh dibawah batas minimal yang diizinkan oleh Undang-Undang Keuangan Negara, yaitu maksimal 60%. Dilihat dari makro ekonomi, posisi utang Indonesia masih termasuk dalam kategori aman, tetapi jika dianalisis dari aspek penerimaan negara, utang luar negeri Indonesia patut diwaspadai.
Sri Mulyani secara terbuka kerap kali membandingkan perbandingan utang luar negeri Indonesia terhadap PDB dengan negara-negara lain seperti Jepang dan Amerika Serikat. Memang, kedua negara tersebut memiliki nilai GDR yang sangat tinggi. GDR Jepang misalnya per 2017 mencapai 250,4%, sedangkan Amerika Serikat per Januari 2018 mencapai US$ 19.947 Miliar melampaui PDB mereka, tetapi nilai GDR yang sangat tinggi ini sejalan dengan kemampuan membayar utang dari kedua negara tersebut sehingga meski GDR sudah lebih dari 200%, kedua negara ini tetap aman kondisi keuangannya karena rasio penerimaan pajak Jepang (36%) dan AS (26%) sangat tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia yang hanya memiliki rasio penerimaan pajak sebesar 10-11% (terendah diantara negara anggota G20) meski sebenarnya tarif pajak penghasilan di Indonesia tergolong tinggi.
Faktor berikutnya yang tidak mampu dimiliki oleh Indonesia adalah, Investor dunia memiliki tingkat kepercayaan yang sangat tinggi terhadap negara Jepang dan AS sehingga para investor cenderung mau membeli surat utang baru mereka, padahal bunga surat utang mereka relatif rendah. Sebagai perbandingan, surat utang di negara Jepang hampir 80% dipegang oleh masyarakatnya sendiri, jadi ketika terjadi krisis sekalipun, surat utangnya tingal dicairkan maka uangnya akan beredar lagi didalam negeri. Meski iklim investasi di Indonesia terus membaik, tetapi masih sedikit investor yang mau dan rela untuk membeli surat utang negara karena masih banyaknya sistem perizinan dan birokrasi yang masih ruwet.
Berikut yang tak luput dari perhatian adalah soal angka pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan perekonomian Indonesia hanya berada dikisaran 5%, padahal Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India, dan AS. Berkaca pada India dengan pertumbuhan ekonomi pernah mencapai 8% dan Tiongkok diatas 6%, rasanya Indonesia juga sudah seharusnya berada diatas kisaran 6%. PDB yang besar harusnya diimplementasikan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Pemerintah memang sedang fokus dan gencar dalam pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pembangunan jalan di daerah terdalam, tertinggal dan terluar, pembangunan jembatan, bandara, pelabuhan, dan lain-lain jelas memakan memakan yang tidak sedikit. Untuk proyek infrastruktur 2015-2019 saja, dibutuhkan anggaran sekitar Rp 5.000 Triliun, logikanya diperlukan utang yang lebih banyak lagi untuk mencapai pembangunan berbagai proyek megastruktur ini.
Dua tahun tersisa masa pemerintahan Jokowi-JK, pemerintah tentu ingin mempercepat pembangunan sebagai realisasi janji politik 2014 lalu, sehingga diperlukan konsistensi pinjaman utang luar negeri yang bisa saja bernilai lebih besar dari periode sebelumnya, bahkan BUMN bisa menjadi alternatif perpanjangan tangan pemerintah untuk meminjam ke luar negeri.
Jumlah utang yang sedemikian besar ditambah dengan ambisi pembangunan infrastruktur beserta tingkat rasio penerimaan pajak yang sangat rendah, hal ini sudah menggangu likuiditas karena belum termasuk penghitungan soal bunga utang dan cicilan pokok pembayaran atau dikenal dengan istilah "gali lubang, tutup lubang". Skema sederhananya, Indonesia perlu berhutang lagi sebesar lebih dari Rp 500 Triliun untuk pembangunan infrastruktur dan pembayaran bunga utang luar negeri dan kemungkinan utang luar negeri Indonesia akan menyentuh atau melalui angka Rp 4.500 Triliun tahun 2019 nanti.
Kondisi ini akan menjadi resiko fiskal yang akan membuat pasar keuangan Indonesia rentan terhadap pergerakan kurs. Jika Dolar naik sedikit saja, maka orang akan cepat khwatir akan terjadi aliran dana keluar. Pun demikian dengan rasa percaya diri pasar, masih relatif berjalan ditempat meskipun utang digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan usaha produktif lainnya karena yang mengalami pertumbuhan paling cepat masih berada pada sektor jasa, bukan pada sektor riil berupa pertanian, pertambangan dan industri, padahal ketiga sektor ini berefek ganda pada tingkat pertumbuhan perekonomian masyarakat.
Untuk mengurangi efek jangka panjang utang luar negeri tersebut, meskipun dalam catatan dialihkan terhadap sektor produktif, utang luar negeri bisa ditekan dengan mencari sumber dana lagi untuk pembiayaan infrastruktur, salah satu yang paling realistis adalah investasi swasta dalam negeri. Meski partisipasi investasi swasta dalam negeri masih relatif rendah, tetapi keberadaan mereka sangat berperan dalam membantu mengurangi ketergantungan terhadap utang luar negeri. Untuk pembangunan tol misalnya, pemerintah tidak perlu pakai APBN, yang penting skema dan formulasinya jelas. Pemerintah hanya berstatus sebagai penjamin dengan UU pembebasan lahan untuk kepentingan publik, sehingga tidak perlu lagi mengeluarkan surat utang.