Mohon tunggu...
Jhon Sitorus
Jhon Sitorus Mohon Tunggu... Ilmuwan - Pengamat Politik, Sepakbola, Kesehatan dan Ekonomi

Indonesia Maju

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Datang dan Belajarlah ke Kampungku, di Sana Tidak Ada "SARA"

29 Desember 2016   15:26 Diperbarui: 29 Desember 2016   15:52 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku adalah anak kampung. Kampungku berasal dari Porsea, tepatnya desa Ambgorgang, desa yang ada didaerah pelosok dan 99% rakyatnya masih mengharapkan tuah alam dengan cara bertani. Kampungku berjarak 25 Km dari kota sehingga penduduk di kampung hanya belanja satu kali dalam seminggu, tepatnya hari rabu. 99% penghuni kampungku adalah orang batak Toba yang bermarga sitorus, sirait, butar-butar, dan manurung, selebihnya orang Batak pendatang.

Sedikit bergeser ke kota, kota Porsea adalah kota yang kecil. Meski semua orang Batak tahu tentang Porsea, tetapi namanya sebenarnya tidak lebih besar dari fisik kotanya. Sedikit bergeser ke Kabupaten, Kabupaten Tobasa yang diibukotai oleh kota Balige. Kabupaten Tobasa juga bukanlah kabupaten yang teramat besar, jumlah penduduknya ± 200.000 jiwa dimana penduduk aslinya 95% Batak asli (toba). Selebihnya juga batak tetapi batak pendatang dan beberapa dari suku jawa, melayu timur, papua, Sulawesi, dan lain-lain.

Mayoritas suku disana memang Batak, tetapi jangan tanyakan soal toleransi terhadap suku minoritas lain disana. Suku lain (pendatang) dianggap sebagai raja selama suku pendatang tersebut. Suku Batak adalah suku yang terbuka terhadap semua manusia dari latar belakang manapun yang penting selama berada dalam batas koridor. Tak pernah ada berita suku mayoritas membantai suku minoritas disana.

Sedikit bergeser ke hal yang berbau sensitif yaitu agama. Agama mayoritas disana memang agama Kristen ± 90% sedangkan selebihnya beragama muslim serta kepercayaan (Parmalim). Jika anda berada disana, Disana anda akan menemukan bagaimana rukunnya hubungan antar umat beragam di Tobasa. Sebagai umat mayoritas, Kristen selalu ditekankan untuk selalu melindungi hak dan kewajiban umat minoritas, tidak boleh menggunakan hukum rimba.

Sebagai contoh, pernah dalam pembangunan masjid di Tobasa, seorang Eporus HKBP (Pimpinan tertinggi HKBP) ikut serta meletakkan batu pertama pembangunan masjid tersebut. Demikian juga dengan ulama di Tobas, para ulama atau ustad biasanya membantu umat Kristen ketika sedang mengadakan acara. Beberapa ustad yang pintar menyembelih daging sudah pasti menjadi langganan umat Kristen untuk meminta jasanya sebagai penyembelih daging untuk pesta keagamaan, adat, dan keperluan lain.

Sekolah disana juga tidak pernah membuat peraturan untuk melarang penggunaan “jilbab” pada siswa-siswanya, yang penting siswa bisa mendapatkan hak dan kewajibannya dalam identitasnya sebagai manusia yang berazasi. Kegiatan natal disana juga tidak lepas dari peranan umat muslim, jika hari natal telah tiba kaum muslim secara sukarela untuk membantu perlengkapan natal.

Umat muslim disana juga pasti diundang ketika sedang dalam hari raya natal, begitu juga sebaliknya jika telah menyambut hari raya idul fitri, umat Kristen setempat akan datang membantu dan merayakannya bersama-sama dalam bentuk makan dan minum bersama.

Indahnya perbedaan disana, tak ada rasa saling mencurigai antar manusia. Agama bukanlah identitas pembeda disana. Yang membedakan seseorang dengan orang lain disana adalah watak serta kelakuannya didepan masyarakat. Tidak peduli mau Kristen atau islam, mau Batak atau Jawa, jika memang wataknya buruk dan tidak sesuai dengan aturan masyarakat, semua penduduk setempat secara serentak memberikan hukuman sosial berupa pengusiran tanpa ada yang mengomandoi.

Jika anda mengajari kami soal toleransi, anda salah besar. Kami tidak mengenal kata “toleransi” disana karena memang manusia wajib saling membantu atas dasar apapun, yang penting statusnya masih manusia. Kami tak mengenal kata “perbedaan” disana karena kami manusia meyakini sama-sama diciptakan oleh 1 Tuhan dan kembali kepada-Nya juga kelak, jadi kenapa harus mempersoalkan perbedaan jika bisa menyatukan perbedaan?

Pergi dan belajarlah ke kampungku, disana tidak ada “SARA”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun