Oleh : Jhon Mejer Purba (Mahasiswa Mata Kuliah Perbandingan Politik Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI)
Â
Insiden tewasnya 6 Laskar Front Pembela Islam pengawal Habib Rizieq Shihab dan keluarganya, di Jalan Tol Cikampek Kilometer 50, Senin 7 Desember 2020, sekitar pukul 00.30 WIB dini hari menyita perhatian publik dan tanda tanya bagaimana kronologi kejadian tersebut serta motif dibalik terjadinya penembakan tersebut.
Kasus ini bermula ketika adanya iring-iringan yang mengawal Rizieq Shihab dikuntit sejumlah mobil. Pengawal Rizieq yang dinamakan Laskar FPI melakukan perlindungan kepada bosnya. Dalam peristiwa ini, enam Laskar FPI tewas. Menurut polisi, hal itu dilakukan karena laskar menyerang petugas menggunakan senjata api dan senjata tajam. Namun kubu FPI lewat Munarman saat menjabat Sekreris Umum FPI membantah klaim polisi soal laskar pengawal Rizieq memiliki dan membawa senjata api. Dia menilai polisi telah memutarbalikkan fakta mengenai senjata ini.
Muncul perbedaan versi antara polisi dan Front Pembela Islam (FPI), terkait peristiwa penembakan yang menewaskan 6 Laskar Front Pembela Islam. "Dari dua versi kronologi yang ada, yang mana yang akan kita percayai? Tentunya versi yang berkualitas. Bagaimana caranya menyusun kronologi yang berkualitas itu? Investigasi independen," tegas Jhon Mejer Purba Mahasiswa Mata Kuliah Perbandingan Politik Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI
Pada saat di tol, kendaraan petugas dipepet dan diberhentikan oleh dua kendaraan pengikut Habib Rizieq. Pengikut Habib Rizieq juga disebut melawan polisi dengan menodongkan senjata api dan senjata tajam berupa samurai dan celurit kepada anggota.
Karena membahayakan keselamatan jiwa petugas pada saat itu, kemudian petugas melakukan tindakan tegas dan terukur sehingga 6 orang meninggal dunia. Sementara 4 orang lainnya melarikan diri. Â Menyoroti "Tindakan tegas dan terukur karena keselamatan terancam" yang dibeberkan pihak kepolisian sangat disesalkan, peristiwa ini telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), tegas Jhon Mejer Purba
Pasal 71 UU No. 39 Tahun 1999 berbunyi bahwa "Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia."
Kemudian dilanjutkan Pasal 72 yang berbunyi "Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain."
Dalam sebuah Negara Demokrasi, HAM menempati kedudukan yang tinggi untuk di hormati, negara melakukan perlindungan dan penghormatan terhadap HAM. Dan pelanggaran terhadap HAM merupakan pelanggaran terhadap kemanusiaan dan dianggap sebagai kejahatan kemanusiaan.
Robert A. Dahl (1985 : 10-11) memberikan lima kriteria bagi demokrasi yaitu:Â