Mohon tunggu...
Jhon Kris Dwitama W.
Jhon Kris Dwitama W. Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Mahasiswa, Jakarta Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

New Normal dalam Membentuk Tatanan Lingkung Baru

26 Juli 2020   21:07 Diperbarui: 26 Juli 2020   22:58 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Empat bulan sudah usia Covid-19 mewabah di Indonesia sejak diumumkannya kasus pertama pada 2 Maret 2020. Kekhawatiran terhadap laju perekonomian yang kian memburuk mendesak pemerintah untuk segera kembali membuka sektor ekonomi masyarakat. Hingga akhirnya penerapan protokol new normal (kenormalan baru) dicanangkan, memastikan masyarakat dapat beraktivitas kembali namun tetap aman dari Covid-19. Namun benarkah kenormalan baru ini sudah menjadi langkah paling efektif yang dapat dilakukan pemerintah?

Hal yang mungkin sempat kita sadari bahwa di awal kehadiran pandemi Covid-19 ini bahwa keadaan lingkungan di berbagai kota besar di Indonesia berangsur-angsur membaik akibat berkurangnya kegiatan masyarakat.

Salah satu indikasinya, semakin dapat dirasakan bagaimana udara di daerah perkotaan mulai membaik pasca hiruk-pikuk polusi yang selalu memburuk dan tidak menunjukkan perubahan yang signifikan.

Jenuh berdiam diri dalam rumah hingga masyarakat yang mulai skeptis terhadap dampak Covid-19 membuat sebagian banyak orang mulai acuh terhadap protokol-protokol kesehatan. Kenormalan baru perlu ditinjau ulang.

Seharusnya kenormalan baru bukan hanya cukup sekedar menganjurkan menggunakan masker serta rajin cuci tangan dan jaga jarak. Kenormalan baru seharusnya perlu menghadirkan tatanan kelola lingkungan kota yang juga lebih baik dan mampu memperbaiki kualitas lingkungan hidup.

Praktek Konsumerisme

Tidak dapat dipungkiri, sejak pembatasan sosial dilaksanakan, persentase produksi sampah masyarakat cenderung semakin meningkat. Umumnya hal tersebut disebabkan oleh aktivitas berbelanja di e-commerce (belanja online) karena bosan, ataupun pembelian produk berkemasan guna mempunyai persediaan barang jangka panjang.

Dikutip dari Tirto.id, selama pembatasan sosial dari 5 hingga 21 Juni, rata-rata sampah Jakarta naik sebanyak 6.225 ton tiap harinya (23/6). Disebutkan bahwa sampah saat ini cenderung didominasi oleh pemukiman atau dari limbah rumah tangga. Padahal hal ini sangat berbanding dengan kesadaran masyarakat kita dalam mengelola produksi sampah.

Masalah lainnya juga adalah mengingat dalam masa pandemi Covid-19, penggunaan alat pelindung diri (APD) seperti masker dan sarung tangan sekali pakai tentu meningkat. Padahal kelompok sampah tersebut mampu mengakibatkan terjadinya percampuran jenis sampah infeksius, yaitu jenis limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), dengan sampah domestik jika tidak ada pemilahan sampah dari tingkat rumah tangga.

"Memangnya kenapa kalau jenis sampah itu saling bercampur, toh, pada akhirnya sama-sama dibuang karena menjadi sampah?" 

Sebelum itu ketahuilah, sampah jenis ini sendiri adalah jenis sampah atau limbah yang daur ulang nya yang tergolong sulit untuk terurai dan membutuhkan penangan khusus.

Alasannya, dalam kuantitas kecilnya saja mampu merusak lingkungan, kesehatan, hingga mampu mengancam kelangsungan makhluk hidup. Sehingga dikhawatirkan beresiko menjadi sarang untuk perkembangbiakan mikroorganisme tertentu, terutama mampu membahayakan keselamatan petugas yang mengangkut sampah maupun masyarakat sekitar.

Itu sebabnya, ungkapan "buang lah sampah pada tempatnya" menjadi gagasan yang harusnya dilakukan. Namun mengapa masih sulit bagi semua orang untuk melaksanakannya? Padahal sedari dini kita telah diajarkan untuk memiliki prinsip mengurangi, menggunakan kembali, dan mendaur ulang (reduce, reuse, recycle; 3R) sampah.

Kesadaran Kolektif Masyarakat

Menilik Korea Selatan sebagai salah satu negara yang memiliki sistem pengelolaan sampah dan limbah yang sangat baik, bahkan oleh masyarakatnya sendiri dianggap merepotkan. Disebut sebagai sistem karena sedari sampah itu akan dibuang, sampah tersebut harus melalui proses dan kualifikasi yang benar.

Misalnya ketika sudah selesai mengkonsumsi minuman berperisa kemasan botol plastik, isi dari sisa minuman tersebut harus dibilas bersih, lalu botol dan plastik pembungkusnya harus dipisahkan hingga nantinya dibuang dalam tempat sampah yang terpisah.

Begitu juga jenis sampah yang lainnya, sampah dibuang terpisah tergantung jenis kategorinya. Tujuannya adalah memudahkan pengelolaan sampah dan limbah.

Hal ini adalah bentuk partisipasi aktif pemerintahaan Korea Selatan dalam menciptakan pemukiman masyarakat dengan lingkungan hidup yang sehat dan ramah lingkungan. Tujuannya agar masyarakat memiliki budaya untuk hidup bersih dan menghargai lingkungan, sebagaimana alam menyediakan sumber daya kepada manusia.

Ini adalah bentuk dari sinergitas atau keterkaitan alam, sosial, dan ekonomi. Hubungan ini memang benar adanya. Manusia dalam saling memanfaatkan sumber daya alam dari lingkungannya untuk melakukan kegiatan ekonomi yang menguntungkan.

Manusia yang sudah jelas mengancam kelangsungan banyak sekali makhluk hidup di dunia ini seharusnya mulai sadar akan perbuatannya. Mungkin ini yang Bumi coba untuk menyadarkan kita.

Sebenarnya, kalau dibandingkan dengan masa-masa yang telah berlalu, kini kesadaran manusia dalam menjaga ekosistem makhluk hidup tentu lebih baik. Cukup banyak orang-orang yang sudah mulai memperhitungkan masalah lingkungan dengan melakukan tindakan nyata. Namun kesadaran ini cenderung pasif, dan hanya dilakukan oleh segelintir masyarakat saja---yang bahkan mungkin tidak sampai sepertiga dari populasinya.

Pemerintah kita seharusnya sudah harus melakukan tindakan yang lebih lagi mampu mengendalikan isu ini. Bukan hanya sekedar membuka pergerakan ekonomi tanpa betul memperhatikan aspek-aspek penting lainnya.

Masyarakat semestinya bukan hanya ditekan sampai pada instrumen kesadaran diri agar memiliki tahapan kesadaran awareness, yaitu mengacu pada pengetahuan dasar untuk mempersepsi, merasakan, dan mengetahui sesuatu.

Pemerintah perlu mendorong tahap perilaku kesadaran consciousness masyarakat, yaitu kesadaran lebih kompleks atau kolektif terhadap suatu pengetahuan dalam struktur pikiran, hingga akhirnya membentuk suatu perilaku yang berkelanjutan akibat dari adanya aksi dampak nyata.

Aksi nyata ini dapat dihadirkan pemerintahan, baik kota maupun daerah, dengan menghadirkan penalti atau denda disiplin yang tegas kepada masyarakat agar tidak mengulangi perbuatan tersebut. Dan juga menghadirkan infrastruktur penyedia pengelolaan sampah yang masif, dari paling dekat dengan kita yakni tingkat rumah tangga hingga nanti kembali dapat diolah untuk menjadi produk daur ulang.

Harapannya masyarakat tidak lagi mempunyai alasan untuk tidak melakukan prosedur pengelolaan sampah secara mandiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun