Mohon tunggu...
Jhon Wamaer
Jhon Wamaer Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Saya, Anda, Kita!

27 Mei 2017   14:56 Diperbarui: 27 Mei 2017   15:42 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada kesempatan ini saya akan membahas sebuah topik permasalahan yang sering kita perhatikan namun jarang langsung diresponi, yaitu humanisme. Kata humanisme merujuk pada kata kemanusiaan (mensheid) dan perikemanusiaan (menselijkheid). Menurut Ir. Seokarno kedua hal tersebut adalah hal yang berbeda. Kata kemanusiaan itu adalah alam manusia sebab kemanusiaan itu sudah ada sejak dahulu, yaitu sejak adanya manusia. Kemanusiaan itu tidak pernah terkotak-kotak atau terbelah. Sehingga, kata Gandhi, “nasionalismeku adalah perikemanusiaan.” Sedangkan perikemanusiaan adalah jiwa yang merasakan bahwa antara manusia dan manusia lainnya ada hubungannya; jiwa yang hendak mengangkat/membedakan jiwa manusia itu lebih tinggi daripada jiwa binatang (pemeluk perikemanusiaan itu melihat dirinya sebagai satu kesatuan dengan lainnya dalam suatu masyarakat).

Bung Karno memberikan contoh sederhana: pada masa primitif, dimana jumlah manusia masih kecil dan belum berhukum, relasi seksual belum mengenal sistim berpasangan (suami-istri). Bagi masyarakat sekarang, tindakan semacam itu bisa dianggap free-sex. Kemudian, kata Bung Karno, manusia mulai hidup dalam sistim keluarga (verwantschapsfamilie). Awalnya, keluarga ini tinggal di dalam rumah panjang atau rumah besar. Kemudian berkembang lebih besar dan menjadi suku. Dalam perkembangan selanjutnya, karena pergaulan hidup, manusia berkembang lebih besar lagi melampaui suku-suku. Nah, pada tahap itulah, seperti dijelaskan Bung Karno yang mengutip pemikir politik Austria, Otto Bauer: “manusia-manusia yang banyak itu kemudian mengalami pengalaman bersama dan persamaan watak”. Inilah landasan, seperti diyakini Otto Bauer, sebagai landasan terbentuknya bangsa. Beliau juga pernah mengatakan dalam pidato 1 Juni 1945 (Lahirnya Pancasila) dikatakan dengan tegas: “Nasionalisme hanya bisa hidup subur di dalam taman sarinya internasionalisme. Internasionalisme hanya dapat hidup subur jikalau berakar di buminya nasionalisme.”Kembali lagi ke topik pembahasan yang utama, yaitu humanisme. Dalam artinya sendiri humanisme berarti aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik (paham yang menganggap manusia sebagai objek studi terpenting). Pernahkah kita berpikir tentang apa bedanya tindak kemanusiaan di masa lalu dengan era seperti zaman sekarang. Mirisnya adalah hal itu hanya beda-tipis. Mungkin orang-orang beranggapan pada zaman dulu lah kekejaman terhadap kemanusiaan sangat hebat. Jangan salah, sekalipun sebuah kejadian di masa lalu dipandang lebih mengerikan sehingga membuat kita belajar agar tidak pernah mengulainginya, tetapi kenyataannya bahwa sikap atau pemikiran seperti itu hanya dapat bertahan sesaat.  Saya juga sering berpikir seperti ini, “Selamanya manusia akan tinggal di dalam kemunafikan yang begitu bejat, karena itu semua hanya omong kosong!” sebuah pemikiran yang timbul akibat tidak terbendungnya emosi di dalam pikiran saya. Kita akan selalu melakukan hal yang merujuk pada hal yang sama tanpa kita sadari dan hanya akan berpikir bahwa kita berbuat hal yang baik pada saat-saat tertentu saja (bisa dibilang kalau sadar saja).

Sebagai contoh, sekalipun orang-orang yang kita kira jahat, sadis, tidak bermoral, tidak adil, atau lain sebagainya-itu hanyalah sebuah kejadian sesaat saja. Sebab bisa saja selama ini mereka adalah orang yang baik. Mungkin mereka hanya melakukan hal tersebut dikarenakan kondisi dan tekanan lingkungan yang membuat mereka seperti itu. Sekarang coba bandingkan dengan orang-orang yang melakukan kejahatan  kecil namun selalu melakukannya dan dianggap masih bisa diabaikan atau dimaafkan. Sekarang dapat kah kita melihat dan menyadari ini, lucu, benar sekali. Hal ini bisa dianalogikan dengan, “Don’t judge the book by the cover” artinya seringkali kita hanya menggunakan salah satu sudut tanpa mengetahui kenyataan yang ada. Sekalipun setinggi-tingginya jabatan atau kelas sosial seseorang padahal sudah terpampang nyata bahwa ada sebuah dasar pembangun bangsa yang kita miliki untuk dijalankan, yaitu pada sila kedua Pancasila “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Bangsa Indonesia sendiri memiliki suatu pedoman atau bisa dibilang harapan yang sudah diberikan oleh leluhur kita terhadap kita. Kemudian sebagai penerus bangsa ini apa yang akan kita harus perbuat ketika kita kini sudah menyadari hal ini? Sebaiknya kita dapat berusaha dan berjanji setia pada janji kita untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang lebih baik lagi. 

Kemudian pesan saya juga mari kita dapat menegakkan hukum yang ada di dunia ini bukan saja melihat keadaan yang ada di tempat kita ini saja melainkan untuk setiap umat manusia yang ada di dunia ini dengan tidak melihat siapa dia atau pun ras orang tersebut kita harus dapat saling menjaga dan membela sesama kita. Bagaimana pun juga jika kita hanya melakukan pembentukan sikap menjadi orang yang lebih baik pada sekelompok masyarakat saja dampaknya hanya dapat bertahan saja atau mungkin tidak terjadi apa-apa. Oleh sebab itu diperlunya dukungan-dukungan dari semua jajaran pemimpin-pemimpin apa pun itu untuk memperoleh kesejahteraan di dalam kemanusiaan. Demikian lah pesan yang bisa saya sampaikan, mohon maaf jika ada kesalahan, sekian dan terima kasih.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun