Mohon tunggu...
Jhoni Imron
Jhoni Imron Mohon Tunggu... Penulis - Writer, Research Enthusiast, Blogger, Graphical Designer, Traveler, Trader

Profil saya ada di halaman blog catatanjhoni.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indonesia dan Pengkhianatan Kemerdekaan

1 Oktober 2012   21:53 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:24 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mengapa Indonesia (kita) harus merdeka?

Dengan lantang pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 telah menjawab : bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Selanjutnya ditulis “...oleh sebab itu segala bentuk penjajahan di atas dunia harus dihapuskan…” Petikan pembukaan Undang-undang Dasar 1945 tersebut sudah cukup menjadi alasan mengapa kemerdekaan itu—sejak dulu, sekarang, dan hingga esok—harus terus diperjuangkan kemudian dipertahankan. Merdeka adalah hak dasar manusia. Merdeka juga menjadi tujuan utama suatu bangsa.

Bangsa, yang terdiri dari kelompok masyarakat (yang terdiri dari berbagai keragaman), hidup dalam suatu wilayah kedaulatan yang disebut Negara itu, hanya disatukan oleh cita-cita bersama. Rasa memiliki bersama.

Realitas kehidupan berkebangsaan kita pasca runtuhnya orde baru menjadi semakin kompleks. Banyak permasalahan yang muncul, hingga saat ini masih terlihat belum sepenuhnya terjawab dan diselesaikan. Beberapa bidang penting yang seharusnya mencerminkan kemerdekaan Indonesia, terlihat masih sangat jauh dari janji kemerdekaan:

Lihat misalnya bidang penegakan hukum, pemeo “hukum ibarat sebilah pedang, yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas” adalah sangat tepat bagaimana menggambarkan penegakan hukum di negeri ini. Ditambah lagi proses penyelesaian mega skandal korupsi, yang terkesan berjalan lamban.

Ironisnya, dalam banyak kasus, rakyat kecil yang juga merupakan pemilik syah Negara bangsa Indonesia justeru menjadi kelompok masyarakat yang selalu tertindas dan mendapatkan ketidakadilan. Lihat saja misalnya kasus “pencurian” kakao, sandal jepit, dan kasus salah tangkap, dan sebagainya, dan sebagainya. Beberapa contoh tersebut menjadi pembuktian betapa di wilayah hukum bangsa Indonesia masih belum berdaulat (baca merdeka).

Soliditas bangsa, sewaktu-waktu bisa pecah akibat isu SARA--perbedaan yang tak semestinya jadi petaka. Padahal, kekayaan alami Indonesia, yang membedakan dengan bangsa lain, salah satunya adalah ke-Bhinneka-an. Hal tersebut menjadi semacam given (pemberian) yang secara khusus dianugerahkan oleh Tuhan kepada Ibu Pertiwi, di samping kekayaan lain seperti alam yang subur berikut kandungan sumber daya yang berlimpah.

Ke-Bhinneka-an itu bukan menjadi ancaman jika terikat oleh soliditas yang kuat. Kemerdekaan yang kita rasakan sekarang merupakan buah dari perjuangan yang bahu-membahu tanpa memandang perbedaan (etnis, ras, agama, dan lain-lain).

Di era demokrasi, kran politik terbuka sangat lebar, informasi masuk dan keluar silih berganti, serta kemajuan teknologi masuk hingga ke pelosok desa. Namun, hal tersebut justeru tidak membuat warga Negara menjadi semakin dewasa. Tak jarang muncul konflik-konflik horizontal berlatar belakang SARA, termasuk di antaranya pada momen-momen pemilu/pilkada.

Pada akhirnya, Bhinneka Tunggal Ika, hanya tinggal slogan tanpa makna. Kesalahpahaman kecil saja bisa memicu terjadinya perpecahan bangsa. Sebagai sebuah bangsa, tentu kita tidak bisa menutup mata dari hal semacam ini.

Dalam hal sumber daya alam (Darat, Laut, dan Udara), kita seakan tidak berdaulat. Negara yang kaya ternyata tidak serta-merta diikuti oleh kondisi kesejahteraan rakyatnya. Paradoks seperti inilah yang  terjadi di Negara Indonesia.

Apa yang salah dengan hal tersebut? Padahal, Undang-Undang Dasar 1945 telah mengamanatkan pemanfaatan sumber daya alam yang berlimpah itu digunakan sepenuh-penuhnya bagi kemakmuran rakyat. Pasal 33 , misalnya, telah dengan rinci mengatur status kepemilikan dan peruntukan sumber daya alam Negara Indonesia.

Fenomena Tenaga Kerja Indonesia (TKI), dan politik luar negeri Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) juga perlu mejadi perhatian bersama. Walaupun Indonesia beberapa kali menyelenggarakan pertemuan yang berskala internasional, melibatkan banyak Negara, mengetuai beberapa forum Negara-negara, namun tak sedikit pula kenyataan yang seakan-akan merongrong kewibawaan kita sebagai bangsa—di luar negeri.

Undang-undang Dasar 1945, merekam janji kemerdekaan yang lain, yakni: “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, ternyata pendidikan masih menjadi barang mahal—bahkan semakin mahal—di negeri ini.

Cita-cita kemerdekaan untuk memanusiakan manusia Indonesia, melalui peningkatan sumber daya manusia-nya seakan berhenti di atas kertas. Masalah lain kemudian muncul, ketika lembaga-lembaga formal pendidikan terkesan tidak mampu menjadi designer yang bisa menghasilkan manusia Indonesia yang berkualitas, berpikiran maju, tanpa harus kehilangan ke-Indonesia-an-nya. Problem pendidikan untuk selanjutnya turut pula memengaruhi pembentukan karakter dan moralitas anak bangsa..

Bagaimana karakter orang Indonesia saat ini? Ini patut menjadi renungan mendalam semua komponen bangsa. Dalam hal moralitas, fakta berbicara terbuka bahwa telah terjadi degradasi moral, tak terkecuali pada pemimpin-pemimpin kita, wakil rakyat, dan menjangkiti semua lini dan profesi.

Pertanyaannya kemudian adalah, masihkah nilai-nilai pancasila kita pegang dan junjung tinggi? Ataukah orang Indonesia yang disebut “Manusia Pancasila” itu hanya ilusi. Pertanyaan ini penting diutarakan untuk melihat seberapa “Pancasila-nya” kita.

Kesemua permasalahan di atas merupakan sedikit rangkuman dari sekian banyak janji kemerdekaan yang--entah sengaja atau tidak--sudah dikhianati. Ini tentu juga menjadi kegelisahan banyak pihak.

Mengkaji ulang arah bangsa dan merumuskan kembali defenisi kemerdekaan seutuhnya bagi segenap rakyat Indonesia, adalah hal penting untuk dilakukan. Dan yang terpenting, direalisasikan dalam bentuk nyata. lagi-lagi peran semua elemen bangsa sangat diperlukan. Satu langkah kecil saja yang dilakukan, bisa menjadi “obor” semangat bagi kerja-kerja besar setelahnya. Semoga Indonesia masa depan semakin mendekati cita-cita kemerdekaan. Karena "pengkhianatan itu pedih!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun