Mohon tunggu...
Jhoni Imron
Jhoni Imron Mohon Tunggu... Penulis - Writer, Research Enthusiast, Blogger, Graphical Designer, Traveler, Trader

Profil saya ada di halaman blog catatanjhoni.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perayaan Kemerdekaan

28 Agustus 2013   11:51 Diperbarui: 10 Maret 2020   10:15 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sabtu lalu, tak berapa jauh dari rumah tempat saya tinggal, dimulai perlombaan memeriahkan peringatan hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ini saya ketahui pada malam sebelumnya, ketika mengikuti pengajian RT. Saya sendiri, sampai artikel ini ditulis, tidak sempat menyaksikan kemeriahan perayaan itu.

Bukan tak mau membaur. Aktivitas yang saya lakukan menuntut saya lebih banyak berada di luar rumah, dan pulang lebih lambat. Jadinya, saya hanya menikmati cerita perayaan dari tetangga sekitar rumah.

Agak terlambat memang. Namun, dari cerita yang saya peroleh, kegiatannya seru.

Perayaan kemerdekaan memang setiap tahun diselenggarakan masyarakat Indonesia, di semua daerah—kecuali yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Tak hanya di gedung-gedung mewah, stadion berkelas (nasional maupun internasional), di lapangan olahraga setingkat RT pun dirayakan. Termasuk di tempat saya tinggal.

Beberapa hari sebelumnya, pada 17 Agustus lalu, di Propinsi Jambi—sebagaimana daerah lain di Indonesia—diperingati Hari Kemerdekaan itu dengan perayaan secara meriah. Urutannya meliputi : acara formal Upacara Bendera (pengibaran Bendera Merah Putih) pada pagi harinya, sidang paripurna yang didengarkan langsung di kantor DPRD dan agenda mendengar pidato langsung Presiden SBY pagi hingga siang, dan tentu saja—seperti biasa—upacara penurunan Bendera Merah Putih pada sorenya.

Satu hari berikutnya, tanggal 18 Agustus, juga digelar pawai pembangunan Propinsi Jambi. Dihadiri langsung Gubernur.

Meminjam istilah media lokal, masyarakat kemudian “tumpah ruah” memadati sepanjang jalan lintasan pawai. Pawai diikuti Instansi, BUMD, Dinas-Dinas di lingkungan Pemerintah Propinsi Jambi, Pemerintahan Kabupaten, OKP dan NGO, Komunitas seni, dan disaksikan ribuan pasang mata (masyarakat).

Dari profil acara dan pesertanya, jelas acara ini memakan waktu lama. Tetangga kami yang kebetulan sengaja pergi untuk menyaksikan pawai langsung dari dekat pulangnya setelah siang. Menjelang sore.

Menurutnya pawai yang dilihat dan diikutinya sangat meriah. Masyarakat merasa terhibur. Dan bagian akhirnya, Pemerintah bangga karena sudah merayakan peringatan tujuhbelasan dengan meriah.

Tapi sesederhana itukah menghidupkan dan melanggengkan kemerdekaan? Sudah cukupkah ‘Ia” diperingati dengan upacara, pawai dan hiburan?

Mari lihat, masih banyak masyarakat kita yang hidup tertinggal, tak mendapat kesempatan mengenyam pendidikan (apalagi pendidikan tinggi) karena biaya yang tak terjangkau, terjajah haknya (hak hidup layak dan berkecukupan) akibat sumber daya alam negeri yang ditinggalinya ternyata hanya menjadi “Kutukan” bagi mereka. Mereka hanya penonton dan penikmat dampak negatif dari eksploitasi yang disebut-sebut sebagai pembangunan. Anak-anak terlantar, harus masuk panti asuhan karena kesulitan ekonomi orang tuanya. Inikah kemerdekaan yang kita rayakan, dan sama-sama kita peringati?

Tulisan ini tentu tidak bermaksud menarik mundur “kemerdekaan” itu dari podiumnya. Pun tidak bijak jika ditujukan untuk menafikan perjuangan para orang tua kita yang berkorban apa saja untuk merebutnya. Tapi nyatanya, capaian—kemerdekaan—itu rasa-rasanya makin kesini semakin pantas kita koreksi dan introspeksi.

Kalau dulu di “Tanah Surga” ini tongkat kayu dan batu dibuang jadi tanaman, sekarang tidak lagi, karena tanahnya sudah digerus dan diporak-poranda bermacam industri dan aktivitas tak ramah lingkungan.

Dulu tanah air ini kolam susu bagi rakyatnya, karena itu milik mereka (kita). Sekarang mereka (kita) tidak lagi merdeka memilikinya. Kolam susu berganti kolam racun.

Sawah ladang dulu cukup menghidupi masyarakatnya, sekarang tidak lagi. Karena sawah ladang sudah berganti industri, real estate, monokultur dan pertambangan. Sementara lahan yang ada akan dikuasai orang lain. Orang luar. Rakyat kekurangan pangan, dan disuruh berhemat makan.

Dulu tiada badai dan topan menghalangi. Sekarang badai dan topannya seperti dibuat, sebagai dampak keserakahan kapitalis.

Mari renungkan dan pikirkan sejenak...Semoga di tahun-tahun yang kita hadapi kedepan, kemerdekaan itu sudah layak kita rayakan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun