Perceraian (divorce)Â merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Mereka tidak lagi hidup dan tinggal serumah bersama, karena tidak ada ikatan yang resmi. Mereka yang telah bercerai tetapi belum memiliki anak, maka perpisahan tidak menimbulkan dampak traumatis psikologis bagi anak-anak. Namun mereka yang telah memiliki keturunan, tentu saja perceraian menimbulkan masalah psiko-emosional bagi anak-anak (Amato, 2000; Olson & DeFrain, 2003).
Perceraian merupakan fenomena yang semakin meningkat di berbagai wilayah, termasuk di Banyuwangi. Kota ini telah mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah kasus perceraian selama beberapa tahun terakhir. Mari kita telaah lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang menyebabkan perubahan budaya dalam perkawinan di Banyuwangi.
Berdasarkan data tersebut Banyuwangi merupakan salah satu kota dengan angka perceraian yang tinggi setelah malang dan jember menurut BPS pada tahun 2020, tercatat di BPS (Badan Pusat Statistik) bahwasanya perceraian secara umum memiliki total 5.684 kasus perceraian (Badan Pusat Statistik Jawa Timur 2021), sedangkan pada tahun 2021 kota Banyuwangi menempati urutan ke-3 setelah Jember tercatat di BPS (Badan Pusat Statistik) bahwasanya perceraian secara umum memiliki total 5.974 kasus (Badan Pusat Statistik Jawa Timur 2022), sedangkan pada tahun 2022 kota Banyuwangi menempati urutan ke 3 lagi setelah Jember dengan memiliki total 6005 kasus perceraian. Dengan perincian dari jumlah tersebut, yaitu 1.851 kasus cerai talak/pihak suami dan 4.154 kasus cerai gugat/pihak istri (Badan Pusat Statistik Jawa Timur 2023) menunjukkan bahwa perceraian terus meningkat.
Dari data tersebut beberapa faktor penyebab perceraian di Banyuwangi, pertengkaran atau perselisihan dalam rumah tangga menjadi faktor kedua penyebab perceraian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor - faktor pertengkaran/perselisihan antara suami dan istri, dari sudut pandang suami yaitu: pekerjaan rumah tangga dan kebiasaan buruk (42%), ponsel/media sosial dan ekonomi (33%),dan mertua/keluarga lain (25%). Dari sudut pandang istri yaitu: ketidaksetiaan (42%), ekonomi dan mertua/keluargalainya (33%), pekerjaan rumah tangga, kebiasaan buruk dan komitmen (25%) (Andu, Christine Purnamasari. 2021).
Perceraian adalah peristiwa yang memengaruhi banyak aspek kehidupan. Dampaknya melibatkan emosi, hubungan sosial, keuangan, dan kesejahteraan anak. Secara emosional, perceraian dapat memicu depresi, kecemasan, rasa bersalah, dan kesedihan. Bagi anak-anak, perubahan besar dalam kehidupan mereka dapat menyebabkan kesulitan menyesuaikan diri dan masalah di sekolah. Dari segi ekonomi, pembagian harta bersama dan manajemen utang setelah perceraian bisa menjadi sumber konflik. Ketidaksetaraan ekonomi dapat memengaruhi kualitas hidup. Dampak psikologis mencakup trauma dan stres pascacerai, yang memerlukan perawatan dan dukungan. Kesejahteraan anak juga terpengaruh, dengan anak-anak mengalami stres emosional, penurunan kinerja sekolah, bullying, dan masalah sosial. Dampak jangka panjang mencakup kesulitan dalam membangun hubungan baru dan dampak negatif pada kesehatan fisik. Memahami dan mengatasi dampak ini adalah langkah penting bagi individu yang mengalami perceraian.
Peningkatan angka perceraian di Banyuwangi juga berdampak pada budaya perkawinan. Tradisi dan norma yang mengedepankan keutuhan keluarga perlu diperkuat. Pendidikan mengenai komunikasi yang baik, pengelolaan konflik, dan pentingnya saling mendukung dalam perkawinan harus diperkenalkan secara lebih luas. Dalam menghadapi perubahan ini, masyarakat Banyuwangi perlu memperkuat nilai-nilai keluarga, mengedepankan komitmen, dan memahami bahwa perkawinan adalah ikatan yang memerlukan kerja sama dan pengertian dari kedua belah pihak. Perceraian bukanlah akhir dari segalanya. Dengan pemahaman yang baik dan dukungan dari lingkungan sekitar, pasangan yang bercerai dapat memulai babak baru dalam hidup mereka dan membangun hubungan yang lebih sehat di masa depan.