Masih ingat film 'DEMI UCOK' yang sangat terkenal itu? dengan film sederhana itu mengantarkan pemeran pembantunya meraih piala citra FFI,Mak Gondut. (mari keluar sedikit dari politik dan hukum) ya,sepertinya agak membosankan membahas Jokowi dan Prabowo mulu.
Sebenarnya,saya tidak ingin membahas film itu,tetapi beberapa kalimat percakapan dalam film itu membuatku seolah berfikir sejenak dan melihat sekitar.yaaahh,mungkin tanpa kita sadari begitu banyak orang-orang yang mereka bicarakan di sekitar kita tanpa kita ketahui atau kita ketahui tetapi justru mengabaikannya saja,mungkin saja.atau justru kita mempunyai teman atau teman sekantor atau justru salah satu dari sanak saudara.
Jujur,ini adalah pengalaman hidup yang telah lama saya simpan sebagai pembelajaran yang akhirnya membawa saya ke titik dimana menghargai sesama itu jauh lebih bernilai daripada merasa benar dalam segala kondisi.pengalaman ini pulalah yang membuat saya tidak acap kali langsung 'menjudge' orang lain melainkan sejenak diam dan berfikir,"apakah saya lebih baik?". pengalaman ini jugalah membuat saya mengartikan segala apa yang kita alami di masa lalu akan membentuk karakter kita dalam menghadapi kehidupan ini walau sejatinya tidak 100% benar,tetapi rata-rata adalah seperti itu.
Tahun 2005 awal saya tidak tau apa artinya tentang hal ini,hingga sebagai orang Batak yang perantau membawa saya ke tanah Semarang,Jawa Tengah.setamat SMA memang saya tidak kuliah,bukan karena tidak mau tetapi karena kendala dana.saya bermimpi dan berusaha sekuat tenaga untuk mencari uang agar bisa kuliah tetapi waktu berkata lain.hingga detik ini,bangku kuliah itu seolah bagaikan pungguk merindukan Bulan,tak tercapai jua.(ya sudahlah,jangan menangis.karena cowok ga boleh nangis).hahahaha
Di tanah Semarang,saya bekerja di sebuah koperasi yang bergerak di bidang keuangan dan barang.dengan gaji pas-pasan juga saya bertarung mengarungi hidup.dengan mengontrak sebuah kamar kecil 2x3 meter maka saya mulai hidup sebagai manusia mandiri lepas dari tanggungjawab orang tua,(sebenarnya sejak SMP sudah mandiri menjadi 'guide' di Danau Toba) dan itu sangat membuat saya berfikir alangkah enaknya hidup sama orang tua dan saat itu juga saya tau betapa sakitnya menahan rasa rindu sama orang tua.
tinggal sendiri dan mulai mengenal dunia.dari orang jawa,madura,sunda dan papua saya kenal sudahlah di tanah Semarang.berbagai etnis ini membuat saya semakin sadar akan diri saya sendiri,bagaimana bersikap,bertindak atau berbicara kepada mereka masing-masing.
hingga suatu hari,saya mendapat sebuah kenyataan yang membuat hidupku terguncang dan lari dari kontrakan itu.dengan langkah seribu saya kabur dan sangat membeci mereka,(padahal kontrakan masih sisa kira-kira tiga minggu lagi,sayangkan???) dan membuatku tiap hari bersumpah serapah kepada mereka.tidak ada kata kotor yang tak kuucapkan untuk melepaskan rasa kebencianku kepada mereka.
tetapi,semakin saya menyumpahi mereka,semakin terlihat oleh mata saya bahwa mereka juga tidaklah meminta diri mereka seperti itu.awal 2009 saya pindah ke tahan Pasundan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik.tetapi di dalam hati sangat bersumpah untuk jangan pernah bertemu manusia yang seperti mereka.
hingga suatu seminar yang saya ikuti membuka otak dan hati,membuatku sadar bahwa dengan menghina atau menghindari mereka bukanlah sebuah cara yang benar atau jalan yang baik.baik itu buat mereka atau juga buat diri kita sendiri.entahlah,sekarang hal itu membuatku semakin tau kalau manusia itu tidak ada yang sempurna.ada saja kekurangan setiap insan diciptakan oleh Yang Kuasa.jadi ketika saya sadar saya bukan manusia yang sempurna,kenapa saya menjudge atau menghina orang lain yang notabene adalah mereka ingin menjadi diri mereka sendiri yang seutuhnya.kenapa saya harus menghakimi kehidupan mereka sementara mereka juga tidak meminta untuk jadi seperti itu.
siapa mereka?
Gay,Waria atau Lesbian lah yang saya maksud.