Mohon tunggu...
Jihan QoriratulAiny
Jihan QoriratulAiny Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Longlife learners~

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengkritisi Malnutrisi Generasi

17 November 2024   22:24 Diperbarui: 17 November 2024   22:24 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Adapun untuk intervensi dukungan yang melibatkan berbagai instansi dan lintas sektor, pemerintah telah mengadopsi manajemen pentahelix. Semua digotongroyongkan melibatkan non-government. Pemerintah mengemis dana dari korporasi ala CSR, atas nama penanganan stunting, menarik investasi swasta pada fasilitas publik, juga melibatkan media untuk sosialisasi program dan kerja sama dengan masyarakat untuk melakukan edukasi keluarga/orang tua anak stunting. Jadi, manajemen pentahelix menempatkan negara hanya sebagai regulator dan berlepas tangan dari tanggung jawabnya sebagai menjamin kebutuhan publik masyarakat.

Walhasil, pada ketiga jenis intervensi yang dilakukan negara, semuanya menunjukkan bahwa negara salah urus serta salah kebijakan. Negara telah mengabaikan peran sentralnya sebagai pihak yang bertanggung jawab mengurusi urusan warga negara dengan amanah kekuasaan di tangannya

Kemiskinan Struktural, Imbas Sistem Rusak dan Hegemoni Penjajah

Stunting terjadi akibat kondisi kekurangan energi kronis yang terjadi pada anak, khususnya bila anak kekurangan nutrisi pada 100 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Nutrisi yang adekuat akan mudah didapat bila negara menjamin pangan rakyatnya. Namun, sistem ekonomi kapitalis justru menghasilkan kemiskinan struktural.  Tiap keluarga harus menanggun beban hidup dan segala pembiayaan kehidupan yang tinggi. Namun, pendapatan yang diperoleh jauh dari kata cukup. Harga Pangan terus meningkat akibat minim subsidi dan salah arah kebijakan publik. Harga suatu barang dalam sistem kapitalis mengikuti mekanisme pasar, bahkan negara dalam banyak kejadian terkesan tidak sanggup menekan kenaikan harga pangan. Belum lagi problem penelantaran anak akibat orang tua yang sibuk bekerja. Alhasil, anak sekedar diberi makan, oleh siapapun, tanpa diperhatikan bagaimana kecukupan nutrisinya.

Prevalensi stunting tinggi adalah dampak kesalahan kebijakan negara mengadopsi sistem kapitalisme yang memproduksi kemiskinan, kelaparan, dan buruknya kesehatan generasi. Anak stunting adalah korban buruknya pengurusan negara terhadap rakyat. Negara telah menciptakan beban bagi dirinya sendiri, di samping telah merenggut kesejahteraan dan kebahagiaan anak-anak. Beban negara yang sesungguhnya adalah sistem kapitalisme yang memiliki sifat bawaan destruktif.

Ketika pangkal problem stunting adalah kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, bagaimana bisa negara kaya SDA, tetapi rakyatnya malah miskin dan generasinya kurang gizi? Seolah menutup mata, pemerintah justru menetapkan target nasional prevalensi stunting 2024 pada angka 14%, padahal angka itu mengonfirmasi jumlah anak stunting yang juga sangat tinggi. Mengapa Indonesia tidak mengambil inisiatif menetapkan target zero stunting? Jawabannya adalah karena Indonesia bukanlah negara merdeka dalam makna negara yang mengambil keputusan politik dan kebijakan secara mandiri tanpa bergantung kepada negara adidaya (global). 

Ini jelas terlihat dalam rencana aksi pangan dan gizi sesuai arah RPJMN 2020---2024, Indonesia terikat dengan beberapa komitmen global. Di antaranya The World Health Assembly 2012, Agenda 2030 untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan The UN Decade of Action on Nutrition 2016---2025. RAN Pangan ini menjadi elemen penting yang berkaitan erat dengan penanganan stunting suatu negara.

Konsekuensinya, pembangunan berbagai sistem, yakni pangan, kesehatan, jaminan sosial, pendidikan, tata kelola negara, dan segala bidang terkait pembangunan SDM, harus mengambil perspektif global. Konsekuensi lain bagi negara miskin dan berkembang yang tidak mengikuti dikte global dalam penanganan stunting adalah punishment dari lembaga donor asing. Sebaliknya, ada reward bagi negara yang mengikuti arahan lembaga donor global.

Sayangnya, meski selama ini Indonesia berkomitmen menjalankan arahan global dalam penanganan stunting, nyatanya Indonesia tidak juga mampu mengatasi problem stunting. Jelas saja, alasan global tidak menuntut Indonesia menuntaskan problem stunting sampai nol persen adalah agar tingkat ketergantungan Indonesia terhadap lembaga-lembaga kapitalis global, terus berlangsung. Posisi Indonesia sebagai negara berkembang/miskin tetap berada di bawah hegemoni negara-negara adidaya para pemegang kuasa lembaga-lembaga internasional.

Islam, Solusi Tuntas

Islam mengajarkan bahwa pemimpin memiliki tanggung jawab besar atas yang dipimpinnya, yakni rakyat. Ia akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Dengan begitu, seorang pemimpin seyogianya memberikan layanan terbaik agar rakyatnya tidak mengalami masalah, termasuk stunting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun