Aku meniti jalan gelap penuh sunyi. Tidak ada seorang pun berkenan menatap tubuh penuh susila ini. Mereka lebih mendamba wanita putih suci.Â
Padahal mereka tahu bila wanita bening belum tentu polos. Jelas sekali bahwa citra lebih esensial ketimbang nalar.
Namun pada ujung gang sempit tampak beberapa pemuda bertubuh gontai sedang melirik nakal. Sekilas jelas mata mereka menerawang seolah-olah tubuh susila sedang tanpa busana.Â
Memang standar bahwa akhirnya kepala pria hanya sebatas kelamin dan segumpal daging suka mengempit. Padahal tubuh ini hanyalah cangkang dalam mengais rejeki. Dan mereka tidak pantas memasang standar dangkal pada seorang wanita merdeka.
Malam semakin mendalam tenggelam. Aku pun kian mendekam dan terhunus sepi. Mati dan busuk. Sepotong lagu bernada melankoli mengalun memenuhi ruang.Â
Aku merebahkan tubuh polos pada sebujur sofa singel dan empuk. Lalu aku merasa sunguh nyaman dan aman. Perlahan sepasang mata meredup dan timbulah bekas luka masa lampau. Apa semua lantas kembali seperti semula.
***
Ia adalah seorang pria bertubuh kurus penuh antusias. Setiap ucapan yang terucap dari mulutnya adalah tentang kebebasan dan hidup utopis. Malam berganti menjadi subuh. Tentu saja ia sudah keluar dari rumah dan kemudian mengayuh sepeda menerobos kesunyian. Ia adalah pengantar berita bagi kaum atas.
Siang kemudian timbul dan tubuh terlampau lelah melanjutkan rutinitas. Ia lalu tertidur lelap dalam mimpi bebas norma. Dimana realitas tentang tanggung tak perlu dijawab. Sebab jawab adalah tentang jalan dan menikmati proses.Â
Sebab jalan akhir bukan tujuan. Karena tujuan adalah tentang menyelami tujuan sendiri. Sebab tujuan adalah jalan. Kira-kira begitulah proses dialektika kerdil dalam kepala ia terus bergulir dalam putaran tanpa ujung.
Ia barangkali terlalu muak atas semua isu dan misi yang disematkan sosial. Bahwa segala tuntutan harus diemban dalam pundak seorang pria. Semenjak kapan pria harus menjadi pemimpin. Padahal bisa saja pria menjadi pengikut tanpa perlu dihukum oleh norma.Â