Kini mereka sudah bertemu dan bergumul dalam pertanyaan. Seandainya waktu dapat diulang sepuluh tahun silam. Mereka barangkali bertemu dalam keadaan lebih baik. Di mana wajah dan tubuh masih menjadi cangkang. Dan pemikiran serta suara hati dapat disembunyikan rapat-rapat.
Perempuan berjibaku terus dalam nestapa. Pria terdiam memaknai kejadian tak disengaja. Mereka lalu membeku dalam keterbukaan tak bersirat. Di mana makna sudah dibuka lapang. Sebab ketertutupan adalah penjara dalam bahasa bumi.
Dalam dimensi ini mereka sudah telanjang dari persepsi. Bahwa wanita harus santun dan pria harus bertangung jawab. Di sini segala nilai bisa terbalik. Wanita bebas memimpin dan Pria bebas mengikuti kemauan wanita. Sebab semesta adalah sebuah sistem anarki yang tak bisa ditentukan mau kemana.
Malam berganti subuh. Mereka masih terdiam menunggu kemauan untuk bertanya. Nestapa bukan lagi amarah melainkan membiarkan waktu bergulir tanpa batas. Sebab di sini waktu sungguh nihil. Termasuk segala bentuk takaran yang berasal dari bumi adalah semu saja.
Seribu tahan berlalu dalam kebisuan menenangkan. Tiba-tiba mereka bergumul dalam makna tulus. Segala ego sudah menjadi kosong. Segala nilai sudah meluruh menjadi debu. Mereka akhirnya menjadi satu bintang besar dan siap melencur lalu meledak di semesta tak bertuhan.
-Tamat-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H