Di bawah rindangnya pohon beringin tua. Rara duduk termenung. Tatapan matanya kosong. menerawang ke arah langit senja yang jingga. Di tangannya, tergenggam erat sebuah ponsel yang sedari tadi tak henti bergetar. Pesan demi pesan masuk, namun tak satu pun yang ia buka. Rara dan Angga, dua insan yang pernah menjalin kisah cinta yang indah.
Namun, takdir berkata lain. Kesalahpahaman dan ego yang besar memisahkan mereka, membawa mereka pada jalan yang berbeda. Sejak saat itu, komunikasi di antara mereka terputus. Rara tahu, Angga masih mencintainya. Ia melihatnya di tatapan matanya saat mereka terakhir kali bertemu di kafe kecil favorit mereka. Tapi, Rara terjebak dalam kebingungan. la ingin kembali, namun hatinya masih terluka. Ia ingin Angga menjelaskan semuanya, namun ia tak ingin terlihat lemah.Â
Hati Rara berkecamuk. Diamnya bukan berarti dia berhenti memikirkan Angga. Justru, diamnya adalah cerminan dari pergulatan batinnya. Pergulatan antara rasa cinta, rasa sakit, dan rasa ragu. Di saat yang sama Angga pun tak kalah tersiksa. Ia rindu Rara, rindu tawa dan cintanya. Ia ingin menjelaskan semuanya, ingin memperbaiki kesalahannya. Tapi, ia tak tahu harus bagaimana. Haruskah ia terus mencoba menghubungi Rara? Atau haruskah ia memberi ruang untuk Rara berbenah
diri?
Angga dan Rara, dua jiwa yang terikat cinta, namun terbelenggu oleh ego dan kesalahpahaman. Bisakah mereka menemukan jalan kembali satu sama lain? Bisakah mereka belajar untuk saling memahami dan memaafkan?
Hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H