Tidak begitu banyak orang yang berkesempatan mengabadikan diri bagi Negara dalam berbagai bidang, namun sosok Mayor Jenderal TNI Prof.Dr. Moestopo berhasil melakukannya.Â
Mayor Jenderal TNI Prof.Dr. Moestopo atau yang dikenal dengan nama Moestopo, seorang dokter gigi yang lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, Pada tanggal 13 Juni 1913. Ia merupakan putra Raden Koesoemowinoto anak ke 6 dari 8 bersaudara.Â
Moestopo berpendidikan di School Tot Opleiding Van Indische Tandartsen (STOVIT) di Surabaya tahun 1913-1937. Moestopo jualan beras untuk membiayai pendidikannya. Pada tahun 1937 ia diangkat menjadi asisten Dokter gigi di Surabaya. Kemudian ia naik jabatan sebagai asisten Direktur STOVIT tahun 1941-1942.Â
Beliau ikut dalam pelatihan PETA angkatan kedua di Bogor, Jawa Barat pada masa pendudukan Jepang. Kemudian diangkat sebagai Shudanco (Komandan Kompi) di Sidoarjo. Karena ia memiliki kemampuan yang luar biasa maka ia diangkat lagi sebagai Daidanco (Komandan Batalion) di Gresik dan Surabaya.Â
Tanggal 17 Agustus 1945 Moestopo mengendalikan militer baru di Surabaya. Ia melucuti pasukan Jepang hanya dengan bambu runcing. Esok harinya Jepang mebubarkan PETA termasuk kesatuan Moestopo. Kemudian membentuk Badan Keamanan Rakyat di Jawa Timur yang ia pimpin secara langsung.
 Pada 25 Oktober 1945 Brigade Infanteri India ke-49 yang dibawah komando Brigadir Aubertin Walter Southern Mallaby telah sampai di Surabaya. Mallaby mengirim petugas intelijen yaitu Kapten Macdonald untuk bertemu Moestopo. Moestopo keberatan dengan kedatangan pasukan Inggris di Surabaya. Kemudian pasukan Inggris menemui Soerjo Gubernur Jawa Timur untuk mendapat respon yang lebih baik.
Macdonald mengabarkan bahwa Moestopo ingin mereka ditembak saat datang. Soeryo menerima Deklarasi Inggris bahwa mereka datang dalam Damai dan menolak menemui Mallaby dikapal HMS Waveney. Saat sampai di Surabaya Moestopo bertemu Kolonel Pugh. Pugh menekankan Inggris tidak berniat mengembalikan kekuasaan Belanda, Moestopo setuju dengan Mallaby.
Dalam pertemuan, Moestopo tidak setuju dengan pelucutan pasukan Indonesia di Surabaya. Kemudian Moestopo dipaksa Mallaby untuk membebaskan Kapten Belanda Huijer. Tanggal 27 Oktober pesawat Douglas c-47 skytrain dari Batavia menjatuhkan pamflet yang ditandatangani jendral Douglas Howthorn dan menuntut pasukan Indonesia menyerahkan senjata dalam waktu 48 jam. Moestopo menolak mengikuti permintaan Inggris karena bertentangan kesepakatannya dengan Mallaby.
Pada tanggal 28-30 Oktober 1945 di Surabaya Moestopo mengatakan kepada pasukannya, Inggris berusaha untuk melucuti paksa mereka. Kematian jendral Mallaby menjadi puncak pertempuran, Inggris meminta presiden Soekarno untuk menengahi, kemudian Soekarno mengangkat Moestopo sebagai penasihat dan memerintahkan pasukan Indonesia mengehentikan pertempuran.
Moestopo sangat tidak ingin melepas kendali pasukannya dan memilih pergi ke Gresik, Jawa Timur. Kemudian pertempuran di Surabaya masih terus berlanjut. Sedangkan Moestopo tidak lagi mengomandani pasukan.