Nahdlatul Wathan (NW) beberapa bulan terakhir gencar sekali mempromosikan bersatunya dua kubu yang sebelumnya bertengkar, NW Anjani dan NW Pancor. Beragam cara dilakukan organisasi ini, dari yang kecil-kecil seperti diskusi di kampus hingga yang besar sekali seperti islah beberapa waktu lalu di Lombok Tengah. Sialnya, Islah ini kurang simpatik karena momentumnya kurang tepat. Islah dilakukan ketika pilkada sedang hangat-hangatnya di beberapa kabupaten dan kota di NTB.
Akibatnya, asumsi masyarakat, bersatunya dua NW hanya karena kepentingan politis belaka terutama di Lombok Tengah. Alih-alih melanjutkan Islah ke grass root, justru Islah cenderung dimanfaatkan untuk memenangkan Gde sakti yang merupakan anak kandung organisasi ini sebagai bupati. Diluar itu, bagi saya tentu saja Islah ini apapun motifnya bisa dipandang positif selama tak menjurus pada aksi-aksi yang tak produktif bagi organisasi ini.
Sorry keterusan, saya tak ingin mengulas Islah NW dalam tulisan ini sudah terlampau banyak orang yang bicara soal itu. Saya justru tertarik mengomentari gencarnya infiltrasi kekuasaan yang dilakukan NW pasca naiknya Tuan Guru Bajang menjadi Gubernur.
Fenomena menarik yang saya temui, saat-saat ini hingga dua tahun kepemimpinan bajang berjalan, orang yang ingin mendapatkan jatah kekuasaan ternyata gemar sekali mengaku-aku NW, padahal mereka bukan NW loh. Kalo dulu di NU ada istilah NU Muallaf maka persis di NW saat ini juga ada fenomena NW Muallaf. Mu’allaf dalam islam adalah istilah ketika seseorang diluar agama islam mengucap kalimah syahadat dan masuk Islam.
Bagi NW sendiri, berkeliarannya Oknum NW di pemerintahan berpotensi dua hal. Pertama, NW bisa besar dengan orang-orang tersebut karena mereka dapat menjadi jejaring kuat di birokrasi dan membawa berkah bagi warga NW masa depan. Kedua, orang-orang tersut –yang saya sebut NW Mu’allaf- menyalahgunakan kekuasaan dan yang akan kena getahnya organisasi ini. Jika yang kedua terjadi kelompok NW Mu’allaf menjadi ancaman yang sangat serius.
Fenomena ini sebenarnya sudah menjadi konsumsi publik terutama setelah bajang dengan gencar melakukan reposisi struktur pemerintahannya. Dan yang sangat kentara, yang diuntungkan adalah orang-orang yang selama ini dianggap bajang bisa diajak kerjasama, entah dari warga yang memang “NW oriented” maupun yang mendadak NW alias NW Mu’allaf tadi. Sayangnya, walau fenomena ini telah menjadi konsumsi publik, media sepertinya enggan memberitakannya. Tapi saya yakin dalam beberapa waktu kedepan, Bajang dan NW akan membicarakannya.
Disamping soal Islah dan NW Mu’allafun diatas, di perut saya menggerundel kekesalan pada model kepemimpinan bajang yang terlalu menonjolkan politik identitas. Sebutlah, beberapa waktu lalu, baru kali petama kantor Gubernuran dijadikan tempat Hultah Organisasi terbesar itu. Okelah, Kantor Gubernuran, apalagi sekadar aulanya jelas bisa dipakai oleh siapa saja, tapi ketika ini secara politis dimanfaatkan oleh orang-orang yang kadung terlalu euforia atas berkuasanya bajang, bisa jadi menjadi masalah. NW akan di cap memonopoli kekuasaan hingga seakan-akan harus show force di kantor milik Rakyat itu.
Harus diingat, Rakyat NTB bukan saja NW. Rakyat NTB adalah juga Warga Ahmadiyah, Warga Nahdlatul Ulama, Warga Yatofa, Warga Muhajirin, Warga Amphibi dan warga miskin papa yang berada di pasar dan sawah. Mereka adalah rakyat yang tak boleh dianaktirikan atas alasan apapun, siapapun yang berkuasa.
Secara kasat mata, kita melihat kecenderungan ini. Dan secara subjektif saya membenarkan adanya. Bahwa bajang sebagai Gubernur kerap menonjolkan diri sebagai NW , Bahwa Ia kerap berpidato dengan bahasa-bahasa nyinyir dan menunjukkan identitas ke-NW-anya sungguh tak bisa di sembunyikan. Tapi saya sadar, memang susah membedakan diri dalam posisi seperti ini.
Tapi saya kira, jika bajang cerdas, tentu saja ia akan membeakan dimana saat-saat ia menjadi seorang NW dan dimana saat-nya ia menjadi seorang pemimpin sebuah provinsi dengan di huni beragam kultur, agama dan organisasi. Sebagai serang pemimpin seharusnya bajang peka persoalan ini. Jika tak mau dikatakan otoriter dan feodal dalam memimpin, maka seharusnya Bajang menghindari aksi-aksi atau kegiatan yang menjurus ke sentimen organisasi, agama dan etnis. Saya yakin jika ini ia lakukan, investasi politik masa depan bisa ia bangun, bahkan mungkin bisa dipilih di periode kedua dua tahun mendatang.
Tapi fenomenanya, keterlibatan seorang Bajang yang juga seorang Gubernur dalam upayanya memenangkan Gede Sakti di Lombok tengah sangat kentara. Ini sungguh tak bisa disembuyikan, beberapa kali misalnya ia menghadiri acara warga NW dan dengan jelas-jelas mendukung SALAM. Kemudian, dalam beberapa waktu kita juga melihat nuansa-nuansa politis ketika ia bersilaturrahim ke tokoh-tokoh di Lombok tengah. Ini sungguh tidak fair sekaligus naif sebagai seorang pemimpin, paling tidak hal ini tak tepat dilakukan seorang Gubernur disaat-saat sekarang ini.