Mohon tunggu...
Fauzan Rabbani
Fauzan Rabbani Mohon Tunggu... -

Pemuda Biasa yang Tidak Ingin Menjadi Pemuda Biasa-Biasa Saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Saat Harta Berbicara, Disanalah Kita Tahu Siapa Teman Kita

10 November 2012   11:44 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:40 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ridwan adalah siswa SMA Internasional Faforit di Jakarta. Dia bukan dari golongan orang kaya. Ayahnya hanya seorang karyawan kantor biasa dengan gaji yang hanya bisa dibilang cukup untuk kehidupan sederhana sehari-hari. Ridwan bisa bersekolah disana karena dia berhasil mendapat beasiswa setelah mendapatkan nilai terbaik saat lolos tes masuk. Dan dia pun juga harus menjaga prestasinya di setiap semester agar beasiswanya tidak dicabut.

Setiap hari, Ridwan berangkat sekolah dengan angkutan umum bersama tiga sahabatnya, Rini, Abdul dan Budi. Ketiga sahabatnya itu pun peraih beasiswa yang sama dengan Ridwan. Penampilan mereka berempat pun boleh dibilang mencolok dibanding siswa lainnya yang biasa ke sekolah menggunakan motor sport ataupun mobil mewah. Selain itu semua siswa disana kebanyakan orangtuanya adalah pengusaha sukses, pejabat, bahkan artis terkenal.

Namun mereka tetap membaur dengan siswa lain, bergaul seperti biasa dan tak pernah menganggap si kaya dan si miskin. Terkecuali geng si Bob, Rizki, dan Andri. Mereka adalah anak super kaya yang angkuh, mereka selalu memandang rendah orang yang mempunyai harta, atau minimal gadget dibawah mereka. Ketika berpapasan dengan Ridwan dkk, si Bob pun berkata “Ih awas ada anak miskin, ntar ketularan miskin loh”. Lalu setelah kejauhan, Rini membalas “Ih anak belagu banget. Awas ya nanti!”. Kemudian Abdul menenangkan “Ssst.. udah ngga usah ditanggepin, toh kita kan memang anak paling miskin disini”. “yah iya, kita mah sabar aja” tambah si Ridwan. Dari situlah Ridwan dkk sangat enggan untuk bergaul dengan Bob dkk.

Pada suatu waktu, saat Ridwan pulang sekolah, ia kaget karena barang-barang dirumahnya sudah dikemasi, dan ada truk besar yang siap mengangkutnya. “Barang-barang kita mau dikemanakan bu?” tanya Ridwan pada ibunya. “Kita akan pindah nak. Kerumah yang lebih besar.” Jawab ibunya. Kemudian budi bertanya “tapi kenapa bu?”. “Sudah, kamu naik mobil saja dulu, nanti Ayah jelaskan setelah semuanya beres” timpal ayahnya. Dengan penuh tanda tanya dalam pikirannya, Ridwan pun masuk ke mobil.

Setelah semuanya beres, sang Ayah pun menepati janjinya untuk menjelaskan kepada Ridwan. “Nak, Ayah habis dipromosikan oleh kantor sebagai Manager karena dedikasi Ayah di kantor yang sudah 10 tahun lebih. Ini adalah rumah kita” jelas sang Ayah “oh begitu, berarti kita sudah jadi orang kaya ya yah?” tanya Ridwan polos. Ayah pun tertawa dan menjawab “Ya bisa dibilang begitu nak, kita sekarang bisa merasakan hidup mewah”. “Iya nak, sekarang kamu bisa merasa sederajat dengan teman-temanmu disekolah” tambah sang ibu.

Seiring berjalan waktu memang terlihat perubahan drastis dari Ridwan. Sepatu, tas, jam tangan, semuanya barang mewah dan bermerek mahal. Kemana-mana selalu membawa gadget mahal, dan kendaraannya pun sebuah mobil mewah. Tetapi parahnya, Ridwan meninggalkan teman-teman lamanya dan lebih memilih berteman dengan si Bob yang angkuh. Suatu ketika, Rini, Abdul, dan Budi mengajak pulang bersama naik angkutan umum, namun dengan angkuhnya Ridwan menjawab “Angkutan Umum? Cuih, kulitku pasti akan gatal-gatal jika menaiki itu, ditambah harus berdempetan dengan orang-orang kecil”. Perkataan Ridwan itu jelas menyakiti perasaan Rini, Abdul, dan Budi.

Ulah Ridwan tidak hanya sampai disitu, kini ia lebih suka nongkrong sambil memamerkan kekayaannya dibandingkan belajar. Hasilnya? Nilainya pun anjlok dan beasiswanya pun dicabut. “Tenang saja, Ayahku sudah kaya, jadi aku tak butuh beasiswa lagi” begitulah kira-kira ungkapan hati Ridwan. Namun disisi lain, Bob, Andri, dan Rizki pun terlihat seperti memanfaatkan kekayaan Ridwan. Mulai dari minta traktiran setiap hari, minta pulsa, minta pulang bareng, dan lain lain.

Suatu ketika saat pulang dari sekolah, Ridwan kaget melihat barang-barang dirumahnya kembali dipindahkan ke mobil truk. “Mau pindah kemana lagi kita bu?” tanya Ridwan bingung. “kerumah di ujung gang sana nak” ujar sang ibu. “Ada apa bu? Lalu kenapa mobilku dibawa orang itu?” ucap Ridwan kebingungan. “Sudah nak, nanti akan kami jelaskan” kata sang ayah. Mereka pun akhirnya menuju ke rumah yang baru. Tidak seperti sebelumnya, kali ini mereka berjalan kaki. Sesampainya di ujung gang, Ridwan pun terkaget melihat yang ada hanya rumah sepetak kecil dan berisi beberapa perabot rumah beserta satu kasur saja.

“Ini apa bu? Rumah calon pembantu baru kita?” tanya Ridwan. “Tidak nak, ini rumah baru kita.” Jawab sang ibu. “Ibu pasti bercanda” kata Ridwan memastikan pada ibunya. “Ibu serius nak, ini rumah baru kita” sela Ayah. “Tapi kenapa yah? Kemana harta benda kita? Kita kan orang kaya. Masa tinggal di tempat seperti ini?” panik Ridwan. “Kita sudah bukan orang kaya lagi nak, Perusahaan tempat Ayah bekerja sudah lama bangkrut, dan Ayah banyak hutang. Belum lagi untuk bayaran sekolah kamu. Untuk bisa mendapat rumah sepetak ini saja kita masih beruntung nak”. Ridwan pun terdiam saat mendengar ucapan Ayahnya barusan.

Ridwan pun kini kembali berpenampilan seperti dulu. Sederhana, tanpa menampilkan kemewahan sama sekali. Bob dan gengnya yang mengetahui masalah Ridwan, pun malah menjauhi Ridwan. Kini ia sendirian di sekolah tak punya teman. Ia terlalu malu untuk kembali bergaul dengan Rini, Abdul dan Budi teman lamanya. Beberapa bulan berlalu, bayaran sekolah pun sudah menunggak. Beberapa kali Ridwan dipanggil pihak sekolah terkait masalah bayaran, namun apa daya keadaan ekonomi keluarganya tidak memungkinkan dia membayar tagihan sekolah yang harganya mahal itu. Prestasinya juga tak kunjung membaik sehingga dia tidak bisa mengajukan beasiswa lagi. Ridwan pun di skors oleh pihak sekolah sampai bisa melunasi tagihannya.

Rini, Abdul dan Budi yang mendengar musibah yang dialami Ridwan langsung tanggap. Mereka mengajak teman sekelas bekerja sama untuk mencari uang demi melunasi tagihan Ridwan. Mulai dari mengamen di pinggir lampu merah, sampai menjual barang-barang bekas mereka yang layak pakai. Setelah berjuang satu bulan lebih, akhirnya mereka mendapatkan jumlah yang bisa melunasi tagihan Ridwan. Setelah bagian Administrasi dan kesiswaan menyetujui Ridwan untuk kembali bersekolah, akhirnya Ridwan pun berterima kasih kepada teman-teman yang luar biasanya itu. “Terima kasih teman-teman, kalian memang teman sejatiku. Berkat kalian aku bisa sekolah lagi. Aku minta maaf karena pernah menyakiti perasaan kalian juga. Cuma kalian yang bisa menerima aku dalam keadaan miskin ataupun kaya”. Ucap Ridwan. “Sama-sama Ridwan. Kami juga senang kau bisa kembali bersekolah, kami tidak pernah menganggap miskin kayanya seseorang karena dimata kami derajat kita semua sama” balas Rini. Ridwan pun kini sekolah dengan semangat yang sangat tinggi. Prestasinya melonjak drastis dan ia pun kini mendapatkan beasiswanya kembali sehingga ia bisa bersekolah gratis lagi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun