Mohon tunggu...
Fauzan Rabbani
Fauzan Rabbani Mohon Tunggu... -

Pemuda Biasa yang Tidak Ingin Menjadi Pemuda Biasa-Biasa Saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Ego Lebih Besar dari Toleransi, Rasa Nasionalisme Pun Terpinggirkan

19 Oktober 2012   09:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:39 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masalah pertikaian sosial memang tak pernah ada habisnya di negeri Indonesia ini. Aksinya pun bermacam-macam, ada yang keributan antar kampung, mahasiswa demo dengan merusak sarana umum, pelajar yang tauran karena dendam lama, bahkan wakil rakyat yang saling sikut saat sidang. Hasilnya? Mulai dari yang hanya luka-luka ringan, luka berat, dan tidak jarang nyawa pun melayang, selain itu masyarakat yang tidak ada sangkut pautnya pun merasakan imbasnya diantaranya adalah dengan rusaknya fasilitas umum. Yah, memang tidak akan ada pemenang sejati dalam sebuah pertempuran.

Sebenarnya, para pembangun negeri ini sudah mempunyai rancangan pondasi yang sangat kuat untuk Indonesia ini. Berideologikan Pancasila, dan bersemboyankan Bhinneka Tunggal Ika, merupakan sistem dasar negeri ini. Pancasila yang mempunyai arti keseluruhan sebagai bangsa yang berTuhan, tinggi akan rasa toleransi dan gotong royongnya, serta mengutamakan musyawarah untuk menyelesaikan tiap masalah. Serta Bhineka Tunggal Ika, yang diambil dari bahasa Sansekerta, yang berartikan “Beraneka ragam tapi tetap satu kesatuan” merupakan gambaran sempurna untuk membangun bangsa ini.

Tapi dimana permasalahannya? Mungkin itu lebih baik ditanya kepada masing-masing individu. Apakah kita sudah menjalankan ideologi Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika secara sempurna atau belum. Karena tak bisa dipungkiri, seiring perkembangan zaman, rasa toleransi dan gotong royong pun mulai berubah. Contoh kecil saja, kini orang-orang lebih memilih menyewa Hansip untuk menjaga keamanan wilayah dibandingkan ronda bergilir. Lalu untuk pembangunan jalan warga kini lebih memilih patungan untuk membayar tukang dibanding bergotong royong untuk setidaknya memecahkan batu untuk pondasi jalan, dan merawat jalan yang belum siap pakai.

Lebih jauh lagi, ternyata sistem pendidikan kita pun mulai ada yang berubah, dulu saya sempat merasakan yang namanya pelajaran Budi Pekerti, dan juga PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Tapi kini pelajaran Budi Pekerti dihapus, dan PPKn pun berubah menjadi PKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Mungkin itu juga merupakan sedikit alasan mengapa sikap budi pekerti diantara para pelajar semakin berkurang, meskipun pendidikan tidak bisa sepenuhnya disalahkan, karena masih ada lingkungan yang tidak kalah penting peranannya dalam membentuk suatu kepribadian pelajar.

Lalu apa salahnya lingkungan? Sebenarnya tak ada yang salah dengan lingkungan, Cuma kembali kepada pribadi masing-masing memilih lingkungan yang bagaimana. Modernisasi juga memiliki peranan penting dalam pembentukan lingkungan. Dimana sekarang budaya barat lebih menjamur dibandingkan budaya timur khas pribumi. Pergaulan bebas, merokok dan minum minuman keras dibawah umur, juga menjadi salah satu contohnya. Lalu ada pula pelajar yang justru pamer dengan gadget mewah mereka, bukan pamer dengan prestasi akademik mereka. Itu pun menjadi salah satu penyebab iri dan disintegrasi sosial dikalangan pelajar.

Kini para pelajar sering membawa laptop, smartphone, dan alat teknologi semacamnya.  Alat-alat canggih yang sering dibawa oleh para pelajar ini pun harus diawasi penggunaannya. Jangan sampai alat-alat tersebut bukannya membawa manfaat misalnya untuk mengerjakan tugas, atau mencari bahan materi di internet, tapi malah dibuat hal – hal negatif. Sehingga sekolah bisa menghasilkan generasi penerus bangsa yang berkualitas dan menjadi pemimpin negeri yang amanat di negeri ini.

Negara ini adalah negara Demokrasi, dimana para pemimpinnya dipilih langsung oleh rakyat. Namun, kita perlu perhatikan kinerja Pemerintah kita karena mereka adalah wakil rakyat, wakil dari 237 juta lebih warga Indonesia. Apakah mereka sudah amanah? Apakah mereka mendengar suara rakyat? Apakah mereka bebas dari korupsi? Sekiranya tugas ini adalah tugas kita bersama karena kitalah yang memilih mereka. Di beberapa media terlihat beberapa kali kasus dari anggota dewan kita, mulai dari tidur saat rapat, bertengkar saat sidang, dan sebagainya. Secara tidak langsung mereka menunjukan bahwa anggota dewan hanya sekedar profesi untuk mencari uang, bukan untuk menjadi wakil rakyat.

Jika kita lihat pada zaman penjajahan, bagaimana bangsa ini bersatu, bergotong royong dengan gigihnya, dengan rasa nasionalisnya yang amat tinggi untuk mengusir para penjajah meski dengan peralatan dan senjata yang terbatas. Namun ironinya banyak pahlawan veteran kita yang kini hidup serba kekurangan atau bahkan tidak mempunyai tempat tinggal. Padahal, jasa mereka jelas tidak ternilai untuk ibu pertiwi ini. Dibandingkan anggota dewan, siapakah sebenarnya yang benar-benar pantas mendapatkan fasilitas negara? Saya rasa kita semua juga pasti menjawab para pahlawan nasional.

Tapi suka tidak suka, inilah negara kita, Republik Indonesia, negara kepulauan yang terdiri dari berbagai macam suku dan kebudayaan. Sangat indah bila kita bisa melihat persatuan di negeri ini. Tanpa melihat perbedaan ras, budaya, dan agama. Maju terus Indonesiaku !

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun