Mohon tunggu...
Jhane Pebyana Wilis
Jhane Pebyana Wilis Mohon Tunggu... -

@jhanewilis | Undergraduate Sociology Student at Universitas Indonesia Batch 2011 | General Secretary of @HIPMI_UI | Soon to be an Exporter and Public Servant at Coordinating Ministry of Economics of RI.\r\n\r\nCivic innovator adopting humanitarian diplomacy | Q.S. 53:39

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Integrasi Sosial, Otonomi Daerah, dan Keadilan Sosial

28 Maret 2012   10:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:21 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tiga topik utama yang dipaparkan oleh tiga pembicara dalam peluncuran buku Sistem Sosial Indonesia merupakan aspek yang melekat dalam memahami bagaimana keadaan bangsa Indonesia yang plural. Tiap topik memiliki kohesi tersendiri dan memberikan pengaruh dengan topik lainnya. –Penulis
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk –dimana bangsa yang majemuk akan menghasilkan kebudayaan majemuk yang merupakan interaksi sosial dan politik dari orang-orang yang cara hidup dan cara berfikirnya berbeda dalam suatu masyarakat (Haviland, 2000: 386). Indonesia juga merupakan suatu bangsa yang telah berdiri secara legal sejak proklamasi. Para pejuang revolusi telah mengupayakan berbagai cara mulai dari diplomatis hingga koersif untuk mencapai sebuah titik kemerdekaan. Di saat kemerdekaan diraih, sebenarnya apa yang akan membuat masyarakat Indonesia tetap terikat di dalamnya?[1]. Berbagai ahli pemerintahan, politikus, negarawan, dan akademisi cenderung mengkonsepsikannya dengan istilah ‘integrasi’, yaitu pembauran hingga menjadi kesatuan yang utuh atau bulat[2] –bahkan mengaitkannya dengan kata ‘nasional’. Padahal, apakah masyarakat Indonesia benar-benar terintegrasi secara nasional? Apa yang menjadi perekat atau pelemah masyarakat Indonesia menjadi suatu negara-bangsa?
Negara Kesatuan Republik Indonesia memang belum tergolong tua[3], tetapi di usianya yang masih 66 tahun dihadapkan oleh masalah-masalah disintegrasi, salah satunya seperti separatisme. McCrone (dalam Haralambos 2004) mengatakan bahwa ikatan primordial antara kelompok-kelompok keagamaan dan etnisitas sebetulnya bisa dipersatukan oleh rasa nasionalisme terhadap bangsa-negara asalkan kondisi ekonomi tidak mengecewakan. Sedangkan, istilah nasionalisme sendiri adalah ekspresi perasaan sebangsa. Dengan demikian, dapat dikatakan nasionalisme dan integrasi di Indonesia sesungguhya adalah integrasi sosial, dimana masyarakat dari suatu daerah memperjuangkan dan memiliki sense of belonging tatkala keberadaan etnis dan kelompoknya berperan dan diterima secara luas di Indonesia bahkan menjadi kebudayaan nasional –bukan intergrasi nasional, dimana kesatuan dan persatuan bangsa akibat sense of belonging yang telah terpatri dan kesadaran akan tergabung dalam suatu bangsa sehingga timbul supreme loyalty yang membuat orang siap mati untuk membelanya.
Pemerintahan adalah fenomena sosiologis. Seperti ungkapan Ryaas Rasyid, dalam perjalanan integrasi sosial bangsa Indonesia tidak terjadi secara ilmiah, perlu proses, dipengaruhi kekuasaan, tidak berjalan damai serta tidak ada ujungnya –makaperlu diadakannya restrukturisasi, revolusi dan invesi terus-menerus dalam pemerintahan Indonesia. Nilai-nilai yang terdapat dalam pemerintahan sifatnya tidak mutlak, oleh karena itu otonomi daerah adalah salah satu konsep pemerintahan desentralisasi yang efektif –dimana masing-masing daerah memiliki kewenangan dalam mengatur sistem politik, budaya, ekonomi dan sosial sesuai dengan nilai dan norma yang tertanam dalam daerah tersebut. Meskipun, kenyataannya tidak semua daerah yang telah menganut otonomi berjalan mulus, misalnya saja Papua. Lantas, apakah yang membuat daerah nan kaya penuh kisruh dalam hal politik dan ekonominya? Padahal kota lain di Indonesia telah ‘maju’ dan bahkan menjadi percontohan seperti Solo, Aceh, Jogjakarta, dan lain-lain. Hal ini terkait dengan integrasi sosial dimana orang Papua mereka tidak merasa memiliki Indonesia. Lain halnya dengan orang Padang, Jawa, Batak yang telah berperan dalam semua lini pekerjaan dan tidak dirasa asing lagi oleh sebagian masyarakat Indonesia. Jelas ini adalah tugas bagi bangsa Indonesia kepada daerah-daerah tertentu untuk menghadirkan ‘rasa memiliki’ dan kebutuhan untuk bergabung dalam suatu komunitas.
Transisi masyarakat Indonesia yang tradisionalis menjadi modernis terjadi dalam kecepatan yang tinggi dan dikemudikan oleh faktor-faktor luar, ujar Romo Magnis Suseno. Menurutnya, modal yang dimiliki bangsa Indonesia adalah nilai tradisional itu sendiri, misalnya di budaya Jawa dimana rasa kelompok lebih diutamakan dibanding kepentingan pribadi dan masuknya moderenisme telah mengikis nilai-nilai tersebut. Disamping itu, ada salah satu mental orang Indonesia cukup berpengaruh terhadap struktur sosial, yaitu orang Indonesia tidak menuntut egaliterisme. Padahal keadilan sosial juga merupakan salah satu faktor pembentuk integrasi bangsa. Sebut saja Singapura, negara yang memiliki kondisi lebih rawan karena semua komponen etnis dan rasial warganya (Melayu, Cina, India) berasal dari berbagai negara di sekitarnya, tetapi berkat pengelolaan intergrasi sosial-budaya-ekonomi dan politik yang baik dan mensejahterakan, negara ini dapat dikatakan nationalizing state[4] yang berhasil.
Dari konsep keadilan sosial yang dipaparkan Romo Magnis dan otonomi daerah yang dipaparkan oleh Prof. Ryaas Rasyid dapat dikaitkan dengan integrasi sosial dimana otonomi daerah yang bertujuan untuk memandirikan dan mengembalikan harga diri masyarakat daerah tertentu dengan merevitalisasi dan memperbaiki sistem pemerintahan daerah agar tercapai keadilan sosial dan bukan bertujuan untuk memecah belah persatuan bangsa, maka perlunya untuk mengetahui sejauhmana nilai-nilai kesatuan dan cita-cita sebagai suatu bangsa tetap hidup dalam alam budaya masyarakat Indonesia yang majemuk ini dan sejauhmana usaha untuk memelihara kemajemukan bangsa Indonesia serta mengkaji untuk menentukan proses dan nilai-nilai mana yang dapat diadopsi dan diimplementasikan untuk bangsa Indonesia sesuai masanya –karena Indonesia merupakan sebuah ‘proyek’ yang belum selesai dan tidak bisa diterima begitu saja.
Pustaka acuan: Wirutomo, Paulus, dkk. 2012. “Sistem Sosial Indonesia”. Jakarta: UI-Press.

[1] Sesuai dengan konsep Randal Collins (1975).

[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ketiga. hal. 437

[3] Kurian (1991, seperti dikutip Sujatmiko 2008: 134) menggambarkan bahwa dari 131 negara-negara di dunia, 50 negara berusia 1-50 tahun, 33 berusia 51-100 tahun, 36 (27%) berusia lebih dari 100 tahun. Kurian menambahkan bahwa 121 (92%) masih dapat bertahan hingga saat ini.

[4] Negara berusaha membujuk warganya untuk merasa sebagai suatu nation (Brubaker dalam Haralombos 2004: 212)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun