Mohon tunggu...
Dirgahayu Indonesia
Dirgahayu Indonesia Mohon Tunggu... Fotografer -

Fotografer and profesional perminyakan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Gerson Poyk: Menuju Republik Sastra

5 Maret 2013   08:32 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:18 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini aku terlambat baca koran Kompas Minggu karena terlalu asyik jalan-jalan sepanjang hari ini. Namun di Kompas Minggu hari 3 Maret 2013 di halaman 20 aku menemukan essay menarik dari Gerson Poyk yang berjudul : Menuju Republik Sastra. Aku kutip dua paragraf yang aku garis bawahi sebagai berikut

Dengan menyelami sastra, jiwa seorang akan membuka pintu bagi pengenalan akan keindahan jasmani, keindahah moral, keindahan akal, dan memuncak pada keindahan ilahi. Batinnya yang terdalam akan memiliki getaran intuisi puitis atau intuisi kreatif yang bisa membuat bangsa ini maju di bidang ekonomi, politik, sosial, sains dan teknologi.

Komunitas sastra dengan segala karya sastra akan membuka pintu hati terdalam di mana bersemayam intuisi puitis ( kreatif ), suatu kehidupan spritual dan psikologis yang dinamis yang tak dimiliki dimiliki oleh kebanyakan pemimpin kita karena mereka berada dalam kerangkeng fetishisme komoditas, syahwat terhadap benda dan uang.

Begitulah pernyataan Gerson Poyk, pengarang dari NTT, yang aku kutip, selebihnya tentu akan lebih seru jika dibaca sendiri.

Tulisan Gerson Poyk ini mau merayakan, mungkin tepatnya bersyukur, atas hadirnya pusat atau komunitas pengembangan dan kritik sastra di NTT. Dia berharap daerah-daerah lain juga mempunyai pusat komunitas kreasi sastra dan kritik sastra.

Aku melihat tulisan Gerson Poyk ini bisa memberi petunjuk akan menurunnya situasi pendidikan, moralitas, politik dan bisnis bahkan kualitas kebangsaan Indonesia kini. Sangat ironi di masa demokrasi liberal Indonesia ini justru memunculkan penyeragaman dan tafsir yang serba tunggal. Misalnya apakah ketelanjangan selalu berarti pornografi? Kita merindukan cara berpolitik yang indah, cara berbisnis yang indah atau juga cara beragama yang indah.

Tradisi kreasi sastra dan kritik sastra juga akan mencegah sikap-sikap yang otoritarian

Indonesia akan menjadi sangat kaya jika setiap daerah membangun pusat-pusat pengembangan seni, sastra dan kritik sastra sehingga tidak hanya mengandalkan sumber daya alam yang bisa habis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun