Ada musim untuk segala sesuatu. Ada musim menabur, ada musim menuai. Proses dihadirkan sebagai bagian dari perjalanan. Bukan untuk dilompati, tapi dinikmati. (Fellexandro Ruby)
Ramadan dikenal sebagai bulan untuk menuai. Banyak penceramah di masjid-masjid yang mengatakan bahwa bulan Rajab adalah bulan menanam, lalu bulan Syaban adalah bulan untuk menyiram tanaman itu, dan bulan Ramadan adalah bulan untuk menuai hasilnya.
Artinya, Ramadan memang sebaiknya bukan menjadi start di mana kebaikan-kebaikan itu tumbuh dan menjamur hingga bulan Syawal usai. Sebaliknya, Ramadan sudah seharusnya menjadi bulan-bulan di mana kita sudah terbiasa dengan kebaikan-kebaikan yang bermanfaat dan meningkatkan produktivitas.
Merasa lemas, lelah, letih dan lesu selama bulan Ramadan dan menjadi penghalang kita mengurangi aktivitas, itu artinya kita belum mempersiapkan diri di musim-musim menabur dan menuai. Ini jadi kalimat introspeksi diri sih.
Sebagai bloger yang selalu bekerja di balik laptop, kali ini Ramadan menjadi bulan yang saya targetkan untuk lebih banyak berinteraksi dengan banyak orang, memperbanyak jam-jam untuk mendengarkan kajian, hingga berusaha untuk tidak melewatkan kegiatan sosial. Ramadan bukan untuk dilompati dan menjadikannya waktu untuk : okelah kan aku lagi puasa, jadi bulan ini libur dulu deh kegiatan di luar.
Padahal ada banyak orang yang ingin merasakan Ramadan dengan kegiatan produktif tapi tidak bisa. Lalu kita yang tidak terhalangi apa-apa, kok ya malas gerak alias mager?
Oleh karena itu saya senang sekali ketika organisasi yang saya ikuti selalu rutin mengadakan banyak event yang berkaitan dengan aktivitas sosial. Salah satunya yaitu mengadakan pasar murah untuk yatim dan dhuafa.
Menyongsong Bulan Produktif dengan Pasar Murah Untuk Yatim dan Dhuafa
Pasar murah yang rutin diadakan setiap awal bulan puasa ini diadakan di salah satu pasar pagi yang berada di Kelurahan Gading Kasri, Kecamatan Klojen Kota Malang. Pasar ini adalah pasar yang sudah ada sejak tahun 80-an sejak saya belum lahir.
Hingga kini pasar itu masih ada, bahkan para pemilik bedak atau tempat berjualannya masih mengenal Kakek, Ibu hingga saya sebagai anak keturunannya.