"Masih lama ngga sih sampainya, Mas?" saya bertanya pada suami yang saat itu sedang konsentrasi menyetir.
"Dikit lagi," jawabnya. Setelah dipikir-pikir, sudah berkali-kali suami "menghibur" saya yang mulai bosan dengan jawaban template seperti itu. Harapannya, jawaban tersebut mungkin bisa menenangkan istrinya yang sudah gerah karena hanya duduk melihat jalanan yang panas.
Namun ternyata "sedikit lagi" yang diucapkan oleh suami saya kali ini ternyata benar-benar "sedikit lagi." Karena saya sudah mulai merasakan dinginnya hutan bambu di jalanan yang baru saja kami lewati.
Saya membuka jendela mobil dan merasakan semilir angin sejuk yang sangat segar dan tentu saja berbeda jauh dengan dinginnya AC mobil yang saya rasakan saat perjalanan.
Meskipun hidup di kota Malang sejak lahir, namun Boon Pring masih terasa asing di telinga saya. Wisata Boon Pring yang baru saya dengar dari suami pada 2020 lalu memang tidak seviral tempat wisata kekinian yang sering muncul di iklan-iklan media sosial.
Namun, begitu saya memasuki gerbang Boon Pring dengan protokol kesehatan yang ketat, saya sadar nampaknya justru saya yang mainnya kurang jauh. Karena ternyata pengunjungnya saat itu tidak kalah ramai dengan tempat wisata kekinian lainnya.
Ada begitu banyak kendaraan yang terparkir, dari plat dalam kota hingga luar kota. Wah ternyata Wisata Boon Pring ini sudah seterkenal itu di sini.
Mengenal Boon Pring, Anugerah Hutan Bambu di Desa Sanankerto, Kabupaten Malang
Bagi orang Jawa, arti Boon adalah kebon (kebun), dan Pring yang artinya bambu. Namun Boon Pring ternyata diambil dari dua bahasa, yakni Bahasa Inggris dan Bahasa Jawa. Bahasa Inggris "Boon" memiliki arti anugerah. Sedangkan "Pring" yang diambil dari Bahasa Jawa berarti bambu.
Ternyata bambu-bambu ini sudah ada sejak zaman kemerdekaan dengan luas sekitar 37 hektar. Mayoritas rumah-rumah di sekitar tempat wisata Boon Pring pun juga memiliki pohon bambu di pekarangannya. Sepanjang memasuki kawasan ini, kita akan melihat hijaunya kawasan Boon Pring yang dikelilingi oleh hutan bambu yang memukau.
Letaknya hanya satu jam perjalanan mobil dari Kota Malang, dan terletak di Dusun Kp. Anyar, Sanankerto, Turen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Dulunya, masyarakat hanya mengambil bambu untuk kebutuhan sehari-hari, seperti membuat kayu bakar atau membuat gedek untuk dinding rumah. Menurut Mohammad Subur, Kepala Desa yang berhasil mengembangkan kawasan tersebut sejak 2015, saat itu masyarakat nyaris tidak ada yang berpikir bagaimana mengembangkan anugerah yang diberikan oleh Tuhan berupa bambu di kawasan tersebut.
Bahkan embung yang ada juga dibiarkan begitu saja, hanya untuk irigasi serta bertanam selada air. Sebagai informasi, embung sendiri dibangun untuk penampung air hujan dan mata air, sungai, atau sumber lainnya untuk suplesi irigasi.
Lalu Kepala Desa saat itu berpikir untuk memulai memetakan potensi desa dengan bantuan dari banyak pihak. Pak Subur memulainya dengan mengarahkan mitos yang tersebar di kalangan masyarakat pada logos (keilmuan) agar desa tersebut bisa lebih maju dan berkembang. Hal tersebut dimulai dengan mengeruk embung yang sudah penuh dengan endapan lumpur.
"Butuh dua bulan untuk membersihkan sedimentasinya," ungkap Subur saat itu sebagai Kepala Desa.
Perubahan Desa Tertinggal di Boon Pring dari Mitos Menjadi Logos
Tentu saja kita harus percaya bahwa dengan ilmu, kita bisa mengubah apa pun yang tak mungkin menjadi mungkin. Termasuk ketika mengubah pandangan masyarakat soal mitos mata air yang membuat awet muda yang harus dijaga turun-temurun tak tersentuh. Lalu dengan logos (ilmu) kita bisa merawat sumber mata air dengan perbaikan dan pengembangan desa namun tetap tidak merusak mata air yang ada.
Kalau dulu anak-anak harus melepas sepatu untuk menyeberang sungai karena Desa Sanankerto adalah desa yang terisolir, kini anak-anak tidak perlu lagi melepas sepatunya untuk mencapai sekolah. Karena sudah ada jembatan dan Desa Sanankerto bukan lagi menjadi langganan program Inpres Desa Tertinggal.
Tentu saja perubahan paradigma di tengah masyarakat Boon Pring tidak bisa dilakukan hanya dalam  sekejap saja. Namun membutuhkan waktu untuk memperbaiki, menanamkan keilmuan di dalamnya, memberikan pendampingan, hingga menjadi kawasan eko wisata Boon Pring yang ramai dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitarnya sekarang.
Bangkitnya Gen Kreatif di Desa Terisolir
Pasca perbaikan yang diinisiasi oleh Bapak Kepala Desa itulah kini masyarakat mulai melakukan perbaikan dan perawatan.
Masyarakat mulai berpikir kreatif bagaimana caranya memajukan desa mereka, bagaimana cara meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat di sekitarnya. Hingga akhirnya berdirilah wahana wisata dan spot foto bagi wisatawan yang datang berkunjung.
Tiket masuk ke Wisata Boon Pring yang dibangun oleh Kepala Desa bersama dengan masyarakat setempat ini murah meriah, mulai Rp10.000 per orang untuk menikmati hijaunya alam dan segarnya udara hutan bambu di Desa Sanankerto. Dengan harga murah itu, kita bisa menikmati fasilitas kolam renang yang luas, perahu kayuh bebek di danau buatan atau perahu motor jika memang tidak mau capek-capek mengayuh.
Kamar mandi yang disediakan sangat bersih, airnya juga sangat jernih dan melimpah. Tidak heran sih, karena Boon Pring memang dekat dengan kawasan sumber air.
Urusan tempat makan, Boon Pring menyediakan banyak warung dengan harga yang relatif murah. Karena masuk ke dalam kawasan wisata pun diizinkan untuk membawa makanan. Jadi kalau teman-teman khawatir dengan kebersihan makanannya, bisa juga membawa makanan dari rumah untuk disantap bersama keluarga di bawah rindangnya pohon bambu.
Tapi, jangan lupa larisin dagangan masyarakat sekitar ya! Karena jajanan yang dijual juga murah meriah, mulai dari nominal 500 rupiah untuk 1 biji cilok sampai seharga popmie yang ngehits itu. Komplit meskipun sederhana. Cukup lah untuk memanjakan perut yang sedang kelaparan setelah berenang.
Bangkitkan Perekonomian Desa Terisolir Menjadi Desa Wisata Ramah Berkendara dalam Festival Kreatif Lokal Gagasan Adira Finance
Pada September 2022 lalu, Adira Finance menyelenggarakan acara peresmian landmark desa di Desa Sanankerto dan Festival Pasar Rakyat di Pasar Turen -- Malang sebagai destinasi kedua kegiatan Jelajah Desa Wisata Ramah Berkendara. Kegiatan yang juga disebut sebagai Festival Kreatif Lokal ini tentu saja untuk mendukung bangkitnya perekonomian masyarakat di sekitar Desa Sanankerto yang dulunya sempat menjadi desa terisolir.
Kegiatan yang dikolaborasikan bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, Zurich, MUFG, Bank Danamon, hingga perangkat desa ini merupakan program CSR tahunan Adira Finance. Terpilihnya desa Sanankerto sebagai Desa Wisata Ramah Berkendara tentu saja tak lepas dari masyarakat sekitar yang sudah mau berbenah dan merawat "aset" mereka.
Diantaranya karena telah memenuhi kriteria pendukung meliputi infrastruktur seperti jalanan beraspal, penerangan lalu lintas, stasiun pengisian bahan bakar, bengkel otomotif, sumber daya manusia yang termasuk sebagai pelaku ekonomi kreatif, pengelola dan pemandu wisata, akomodasi, ataupun fasilitas lainnya.
Selain itu, Desa Sanankerto memiliki beragam wisata yang menarik seperti Kawasan Wisata Boon Pring, Hutan Bambu Desa Wisata Sanankerto, hingga Sungai Andeman. Masyarakat pun merasa sangat terbantu dengan dukungan pengembangan Desa Sanankerto sebagai Desa Wisata Ramah Berkendara yang diberikan oleh Adira Finance.
Selain dinobatkan sebagai Desa Wisata Ramah Berkendara, Adira Finance juga menyelenggarakan Festival Pasar Rakyat di Pasar Turen Malang. Tujuannya tak lain untuk menjadikan pasar rakyat di daerah desa wisata menjadi ruang publik kreatif melalui pertunjukan kesenian, bazaar UMKM, literasi keuangan, hingga kegiatan pendampingan dan penguatan kapasitas pengelola destinasi pariwisata bertajuk Desa Wisata Kreatif.
Hal tersebut di atas tentu saja dilakukan untuk mengembangkan UMKM setempat dan mendorong Desa Sanankerto menjadi desa yang lebih maju dan menjadi pilot project Desa Wisata Kreatif di wilayah Jawa Timur.
Sebagai warga Malang saya ikut bangga Wisata Boon Pring maju begitu pesat dan perkembangan tersebut bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat sekitar. Anak-anak yang dulunya berangkat sekolah harus menyeberang sungai dengan melepas alas kakinya, kini mereka tak perlu lagi bersusah payah menjangkau sekolah dengan berenang.
Jika perkembangan ini bisa dilakukan pula oleh desa terisolir lainnya, saya yakin pendidikan di sekitar desa akan lebih maju dan berkembang. Artinya, ide kreatif dari para terdidik pun akan bermunculan, kemudian dilaksanakan untuk kesejahteraan bersama.
Referensi:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H