Mohon tunggu...
Jeveronica Yhuni Melati
Jeveronica Yhuni Melati Mohon Tunggu... wiraswasta -

pekerja sosial mandiri, penulis masalah keluarga & wanita.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menikah Dini Menjemput Mati

28 Januari 2014   11:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:23 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jodoh, rejeki dan mati ada di tangan Tuhan. Semua sudah tersurat sejak kita belum lahir ke dunia ini. Itulah wejangan nenekku dahulu. Tapi pernah ada pemeo " jodoh di tangan hansip ".  Apakah ini juga memang sudah suratan dari Yang Maha Kuasa?!. Menikah dini atau menikah di bawah umur juga takdir?!. Terserah bagaimana kita masing - masing meyakininya.

Tetapi menikah dini  ( usia 15 - 19 tahun ) yang kabarnya  saat ini justru meningkat di perkotaan dan menurun di wilayah pedesaan sungguh menimbulkan rasa aneh. Berdasarkan data BKKBN, rasio pernikahan dini tahun 2012 di perkotaan 26 dari 1000 pernikahan dan tahun 2013 naik menjadi 32 dari 1000 pernikahan, sedangkan di pedesaan tahun 2012 rasio pernikahan dini 72 dari 1000 pernikahan dan tahun 2013 turun menjadi 67 dari 1000 pernikahan. Apa sebenarnya yang membuat remaja kota memilih menikah dini ini?.

Jika di pedesaan atau daerah pinggiran anak perempuan kebanyakan sudah menikah di usia sangat muda dengan berbagai penyebab. Karena pengetahuan orangtuanya yang masih berpegang bahwa anak perempuan tidak perlu sekolah tinggi toh ujung - ujungnya juga di dapur, kasur dan sumur, Anak perempuan kalau sudah ada yang menanyakan atau meminang tidak boleh ditolak karena menolak akan menjauhkan jodoh di kemudian hari. Semakin muda menikah akan membanggakan karena jika umurnya sudah banyak belum menikah dan disebut perawan tua yang tidak laku sangat membuat malu orangtuanya. Dan jika anak perempuan cepat menikah itu diharapkan akan meringankan beban perekonomian orangtua. Sehingga pernikahan sering tidak didasarkan rasa sayang atau bahkan di dalam pikiran mereka memang telah terbentuk pemahaman bahwa tujuan akhir dari anak perempuan itu ya menikah dan punya anak.Sehingga tidak mengherankan jika banyak pemandangan di pedesaan anak - anak remaja muda sudah repot menggendong bayinya. Dan tidak ajaib juga jika perceraian sering terjadi dalam masyarakat ini.

Menikah dini atau menikah lambat adalah hak masing - masing orang tetapi alangkah lebih baik jika dipertimbangkan segala hal terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah dan membentuk kehidupan berumah tangga. Rumah tangga tidaklah sesederhana yang diteorikan tidak juga semulus dan seindah bayangan jika sedang dimabuk cinta. Persiapan tidak hanya sisi materi atau uang tetapi fisik dan mental sangat diperlukan. Jika menikah dini masih sangat banyak yang perlu dipertimbangkan karena pada usia di bawah 20 tahun sebagian besar belum memiliki kemandirian dalam hal keuangan, pekerjaan belum mapan dan masih dalam masa belajar ( kuliah ) sehingga banyak bergantung campur tangan orangtua. Mental pun masih labil karena baru memasuki masa dewasa, masa tertarik pada lawan jenis yang menggebu, mudah cemburu dan emosi sering tidak terkontrol. Hal ini tentu sangat berpengaruh pada perjalanan rumah tangga yang tak jarang masalah kecil pun bisa menjadi pemicu keributan. Jika pernikahan dini itu isteri cepat hamil dan memiliki anak,seorang perempuan muda akan menghadapi kerepotan untuk mengurus dirinya dan bayinya juga suami dan rumahtangganya. Bersyukur jika dekat dengan orangtua yang penuh pengertian dan kondisinya siap membantu dalam banyak sisi.

Ada hal lain yang juga bisa menjadi bahan pertimbangan. Masa remaja adalah masa yang penuh keriangan, senang bergaul dengan banyak teman, berkreasi dan mengembangkan segala potensinya seolah tak bisa dibendung. Tetapi ketika dia harus menikah di usia remajanya  maka dia akan masuk ke dalam suatu ikatan yang ada aturan atau rambu - rambunya. Dia memiliki kewajiban untuk lebih memperhatikan rumahtangganya termasuk suami dan keluarga besarnya. Tidak bisa sesuka sendiri dalam berbuat dan melangkah meski pun itu untuk kemajuan dirinya. Jika tidak pandai mengelola emosi dan keinginan sendiri maka kejenuhan akan melanda kehidupannya. Untuk menghibur diri dari kejenuhan sering terjadi perselingkuhan yang  tak jarang berujung pada perceraian. Jadi ada apa remaja di kota saat ini justru senang menikah dini, sedangkan mereka hidup di lingkungan yang mudah mendapatkan informasi tentang kesehatan, pendidikan, dan tentu saja wawasan yang lebih luas daripada yang tinggal di pedesaan.

Menikah dini menjemput mati. Mati dalam berteman karena remaja ceria harus menfokuskan diri pada kebahagiaan suami dan keutuhan  rumahtangganya. Mati dalam kreasi dan potensi karena langkahnya tak secepat dan selebar saat sendiri. Mati dalam rasa karena ia tak boleh egois pada selera sendiri. Mau tak mau senang tak senang sebagian waktunya bukan lagi miliknya sendiri.

Semua ada lebihnya, semua ada kurangnya, tetapi pastikan memilih yang banyak lebihnya dalam kebaikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun