Mohon tunggu...
Jeveronica Yhuni Melati
Jeveronica Yhuni Melati Mohon Tunggu... wiraswasta -

pekerja sosial mandiri, penulis masalah keluarga & wanita.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anakku Menuntut Haknya

16 Februari 2015   21:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:05 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Setiap  akhir tahun pelajaran selalu terjadi gejolak dan pergolakan emosi yang tak nampak. Kenaikan kelas dan kelulusan membuat rasa senang, risau, takut juga panik bagi orangtua kalangan tertentu.  Senang ketika menyaksikan keberhasilan anak - anaknya dan risau tatkala mendapati anaknya menerima kegagalan. Takut dan panik karena telah tersaji berbagai daftar yang harus dibayar. Mulai hadiah untuk guru, uang perpisahan dengan segala atributnya, uang mengambil ijasah, daftar ulang, masuk sekolah baru juga membeli buku dan seragam. Kondisi seperti ini terjadi setiap akhir dan awal tahun ajaran baru, dan aku pun pernah mengalaminya di saat anak - anakku masih dalam masa sekolah bahkan sampai masa kuliah.

Anak mempunyai hak untuk diurus dan dilindungi orangtua, orangtua mempunyai kuwajiban untuk memberi pendidikan dan kehidupan yang baik. Namun terkadang kondisi orangtua tidak memungkinkan untuk memberikan kehidupan dan pendidikan yang layak bagi anaknya meskipun saat ini pemerintah telah memberikan keringanan bagi masyarakat dalam pendidikan,  gratis uang sekolah di tingkat SD dan SMP, sebagian wilayah bahkan sudah melaksanakan pendidikan gratis untuk tingkat SMA.  Dan sebagai orangtua tunggal dengan dua anak yang masih sekolah dan satu kuliah  sangat kurasakan beban pendidikan itu tidaklah ringan. Hingga terkadang membuatku takut dan putus asa.

Dan anak bungsuku luar biasa mendobrak benteng ketakutan dan kebekuan otakku. Masih tersimpan di memoriku ketika dia berkata  dengan lugas dan tegas " saat ini kuwajibanku adalah belajar, aku berhak mendapatkannya dan nanti saatnya aku bekerja aku juga akan bekerja sebaik mungkin ". Aku diam membeku, otakku kosong tak sanggup marah atau pun menangis.  Hari itu tak ada uang sama sekali untuk membayar uang sekolah ( SMA ) dan untuk ongkos ke sekolahnya yang cukup jauh, harus ganti kendaraan tiga kali. Aku menatap wajah anakku yang dingin tanpa senyum namun tak ada marah dan juga tak ada tangis, membuatku semakin merasa bersalah. Aku tidak pernah meminjam uang pada siapa pun tetapi aku harus mendapatkan uang saat itu karena anakku tidak mau membolos sekolah. Dengan rasa berat menahan segala gejolak batin aku melangkah ke rumah tetangga untuk meminjam uang buat ongkos sekolah.

Kejadian ini membuatku merasa malu, sedih dan juga bersalah dan ini tidak boleh terulang lagi. Kuhubungi beberapa majalah yang terima naskahku dan kuminta DP yang sudah pasti akan diterbitkan. Kupangkas rasa sungkan dan malu daripada harus meminjam tetangga. Kuterima pesanan untuk konsumsi acara - acara di komunitas dan juga di rumah teman - teman. Aku tidak mau anak - anakku tak mendapatkan pendidikan yang layak. Cambukan kecil dari bungsuku membuat bangkit dan langkahku lebih cepat. Dia tidak meminta lebih dari hanya sekedar ongkos dan uang sekolah, bahkan buku pelajaran pun dia banyak memanfaatkan buku perpustakaan dan pinjam teman atau belajar bersama karena tak sanggup mengikuti bimbel yang lumayan mahal di sekolahnya.

Tak salah dia meminta haknya karena kuwajibannya dia laksanakan dengan benar dan hasil yang baik. Dan itu berlanjut sampai kuliah, tak satu buku pun pernah kubelikan, dia pergunakan fasilitas perpustakaan semaksimal mungkin. Perjalanan ke kampusnya lumayan jauh karena tetap menggunakan kendaraan umum tiga kali dan memakan waktu 3 sampai 4 jam jika kondisi macet ( maklum Jakarta selalu macet ). Dan untuk berhemat setiap hari membawa bekal makan seadanya dari rumah. Berangkat jam 04.30 sampai rumah terkadang jam 22.00 Mampukah seorang ibu menyerah ketika melihat semangat belajar anaknya yang tak kenal lelah dan rintangan, tak peduli waktu dan jarak yang harus dia tempuh ?!. Perjuangan ini mencapai tujuannya ketika anakku menjadi lulusan terbaik dalam waktu yang cepat dan telah bekerja sebelum lulus kuliahnya.

Setiap kata dan kalimatnya yang terdengar tegas dan terasa pedas ternyata adalah pembangkit semangat hidupku yang sering meredup bahkan nyaris jatuh dalam cengkeraman putus asa. Dia tidak merengek juga tidak marah, dia tidak menangis pun tidak meberontak. Hanya meminta haknya dengan tegas dan melakukan kuwajibannya dengan benar dan penuh tanggungjawab.

Tak ada kesulitan yang tak bisa diatasi jika kita saling mengisi dan bertanggungjawab pada kuwajiban masing - masing. Memaknai segala kata dan keadaan dengan hati tanpa rasa saling menuduh  dan menyakiti akan menciptakan kekuatan dan ketangguhan dalam menjalani keadaan apa pun. Terimakasi anakku, kau memang luar biasa bagiku. Jika nanti kau telah mampu ulurkanlah tanganmu untuk membantu mereka yang memililki semangat tinggi untuk belajar namun terhalang kesulitan. Ingatlah perjalananmu, seperti itulah yang mereka rasakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun