Mohon tunggu...
Jetho Lawet
Jetho Lawet Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah menghidupkan yang telah mati

Mahasiswa Sanata Dharma Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sirene dan Ketakutan Kolektif

11 Juli 2021   17:12 Diperbarui: 11 Juli 2021   17:17 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bunyi sirene terkesan begitu akrab di telinga publik pada masa pandemi Covid-19 yang tak jelas kapan ujungnya. Hampir setiap saat terdengar bunyi sirene. Pagi, siang, bahkan malam sekalipun. Suara tersebut tak pelak menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan publik. Tentu hal ini akan berimplikasi pada melorotnya kondisi psikologi. Publik lantas mengasosiasikan  bunyi sirene sebagai sesuatu yang menakutkan. Hal tersebut tidak salah karena memang bunyi sirene memberi pengertian kepada publik bahwa, meminjam kata Subagyo Sastrowardoyo, kematian itu semakin akrab. Alih-alih memberi peringatan, bunyi sirene malah menjebak publik dalam ketakutan kolektif.

Sirene pada awalnya ditemukan oleh seorang filsuf dari Skotlandia John Robison pada tahun 1799. Sirene buatan Robison saat itu digunakan sebagai sebuah instrumen musik ketimbang untuk memberi peringatan.  Suara dari sirene dahulu kala diproduksi di bawah air karena dihubungkan dengan Siren dari mitologi Yunani.

Siren atau Seirene adalah makhluk legendaris, termasuk kaum Naiad (salah satu kaum nimfa yang hidup di air) yang hidup di lautan. Mereka tinggal di sebuah pulau yang bernama Sirenum Scopuli, atau menurut beberapa tradisi berbeda mereka tinggal di tanjung Pelorum, pulau Anthemusa, pulau Sirenusian dekat Paistum, atau di Capreae, yang mana semuanya adalah tempat-tempat yang dikelilingi oleh batu karang dan tebing. Mereka menyanyikan lagu-lagu memikat hati yang membuat para pelayar yang mendengarnya menjadi terbuai sehingga kapal mereka menabrak karang dan tenggelam.

Pertemuan dengan Siren dapat dibaca dalam kisah Odisseia. Diceritakan bahwa saat Odisseus harus melewati pantai berkarang yang dihuni oleh para Siren, ia menyuruh semua awak kapalnya untuk menyumbat telinga mereka dengan lilin agar tidak mendengar suara para Siren yang menghanyutkan hati. Ia sendiri ingin agar dirinya diikat pada tiang dengan tidak menyumbat telinga karena penasaran seperti apa nyanyian para Siren tersebut. Ketika ia mendengar suara merdu para Siren, ia memberontak dan menyuruh awak kapalnya agar melepaskan tali yang mengikat dirinya di tiang kapal. Para awak kapalnya menolak. Ketika kapal mereka sudah jauh dari Siren, Odisseus berhenti memberontak dan menjadi tenang, setelah itu dibebaskan.

Dalam perkembangannya, di Indonesia bunyi sirene difungsikan untuk memperingatkan masyarakat akan bahaya suatu bencana alam dan digunakan untuk kendaraan layanan darurat seperti ambulans, polisi, dan pemadam kebakaran. Variasi bunyi yang dihasilkan pun berbeda-beda sesuai dengan maksud yang ingin disampaikan kepada publik.

Di tengah pandemi Covid-19 yang mewabah, bunyi sirene menjelma kemudian mengerucut pada satu maksud, yakni kematian. Sirene tak lagi menjadi semacam sebuah lantunan lagu yang memanjakan telinga seperti dalam lantunan lagu Hyperprism (1924), Ionisation (1931) karya Edgar Varse, lagu "Ballet Mcanique" (1926) karya George Antheil, The Klaxon: March of the Automobiles (1929) karya Henry Fillmore, dan Song to the Siren karya The Chemical Brothers. Sirene tak ayal menjadi semacam lagu-lagu kematian yang  mengerikan. Jangan heran kalau publik semakin takut setiap mendengarkan bunyi sirene. Lantas masih perlu kah bunyi sirene di musim Covid-19?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun