Mohon tunggu...
Jess .
Jess . Mohon Tunggu... -

Whatever happens, I'm glad to know you.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sensasi Putih Biru

25 Januari 2013   04:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:18 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Terik matahari ditambah udara kering serta angin yang nyaris tak bertiup membuatku gerah. Ahh, Surabaya. Kota ini terlalu panas bahkan pada awal musim hujan sekalipun. Aku yang kepanasan berada di dalam ruang kelas ini sudah tidak sabar untuk segera pulang.

Teman sebangkuku, Vera, tampaknya tidak terlalu bermasalah dengan hal itu. Buktinya dia santai saja tetap mengurai rambutnya yang panjang tanpa mengeluh. Aku saja yang sudah mengikat rambutku dari jam kedua masih merasa kepanasan. Sudah beberapa minggu ini aku duduk dengannya.  Bukannya tidak suka dengan Vera, tetapi duduk sendirian memang lebih enak. Aku tidak suka terpaksa berbasa-basi hanya untuk mendapatkan teman.

“Kamu langsung pulang ?” tanya Vera kepadaku.

“Iya,” jawabku singkat.

“Nggak nunggu anak-anak yang lain?”

“Nggak, masih banyak urusan.”

Inilah tidak enaknya memiliki teman sebangku. Dia akan repot menanyakan ini itu kepadamu.

Kelasku termasuk kelas yang solid. Sebagian besar temanku memilih tidak langsung pulang ke rumah seusai sekolah karena mereka menghabiskan waktu dengan anak-anak yang lain. Nah, waktu yang kamu habiskan dengan teman-teman inilah yang akan menentukan apakah kamu termasuk seseorang yang popular atau tidak.

Sebagai anak yang tergolong anti sosial, jelas aku lebih memilih menghabiskan waktuku sendirian ketimbang harus menunggu lebih lama. Aku tidak pernah bergabung dengan geng tertentu di sekolah. Hal ini mutlak membuat posisiku berada pada titik terendah dalam hal kepopuleran.

Akhirnya lonceng berdentang juga. Aku dengan sigap mengemasi barang-barangku. Aku sudah siap untuk pulang sebelum beberapa anak mencegatku di pintu kelas.

“Hey, kamu, Rania, jangan pulang dulu,” kata Vonny.

“Kenapa?”

“Kita mau buat perhitungan dengan kamu!”

Otakku langsung mencoba berpikir. Ada masalah apa hingga Geng Celebrity ini mencariku. Belum sempat aku menemukan akar masalahnya, salah seorang di antara mereka langsung melabrakku.

“Kamu bisa nggak, sih, nggak usah kebanyakan ulah di kelas?”

“Hah? Maksudmu?”

“Duh, jangan pura-pura nggak ngerti deh. Vera, tuh, nggak suka duduk sebangku sama kamu tau!”

So?” tanyaku balik.

“Eh… nantang kamu ya?”

Dalam hati aku menjawab memangnya kenapa kalau aku nantang. Karena masih bingung dengan semua yang terjadi aku diam saja. Aku berusaha melewati celah diantara mereka. Tapi, mereka malah merapatkan barisan dan sengaja menghalangiku. Ya, sudahlah kuikuti saja permainannya.

“Jadi apa sih masalahnya?”

“Nanya aja sendiri ke Vera. Tuh, dia masih di sana,” kata Henny sambil menunjuk ke arah Vera.

Vera sendiri masih tetap duduk di bangkunya. Dia asyik mengobrol dengan beberapa anggota gengnya yang lain.

Karena ingin segera pulang, aku segera mendatangi Vera.

“Kenapa, sih, Ver?”

“Kamu inget, kapan hari kamu nggak bawa kertas fotocopy yang dikasih Bu Ira,” kata Vonny dengan ketus.

“Sorry, nggak ngajak kamu ngomong,” balasku sambil melengos. “Kalau ada masalah, suruh Vera-nya sendiri yang bilang,” potongku tajam.

Vera tidak menjawab apa-apa. Ia hanya mengangguk, mengisyaratkan kebenaran dari ucapan Vonny. Mungkin sebagai ketua geng, Vera merasa tidak perlu repot-repot ngomong. Cukup asistennya saja.

“Ya udah, sorry. Aku nggak ngerti kamu keberatan. Ntar lain kali, aku pake punyaku sendiri,” kataku padanya.

Aku membalikkan badan dan berjalan keluar kelas. Sebagian anak-anak yang tadi mengeblok pintu sekarang memberiku jalan. Dasar geng kurang kerjaan!

Sambil berjalan menuju ke rumah, aku berpikir kalau Vera terlalu berlebihan mempersoalkan masalah sepele seperti itu. Siapa pun yang kelupaan membawa buku atau apa pun, normalnya juga pasti akan mencari pinjaman dari teman sebangkunya terlebih dulu. Lagipula kalau dia memang tidak suka barangnya dipinjam, kenapa nggak ngomong langsung dari awal. Beres perkara. Kalau tahu dia sendiri tidak rela, toh, aku juga tidak akan memaksa. Memang ini anak mengada-ada saja.

***

Sesampai di rumah, aku langsung makan dan tidur beberapa jam. Ketika bangun, aku memutuskan untuk menelepon pacarku untuk curhat tentang kejadian siang tadi. Aku tahu Diko pasti akan mengerti keadaanku. Diko biasanya pintar untuk ngasih solusi kalau aku ada masalah.

Tadi aku sempat berpikir kalau tidak mungkin meminta Bu Indah untuk memindahkan tempat dudukku lagi. Dua minggu yang lalu, AC kelasku tiba-tiba bocor. Waktu itu kebetulan aku duduk pas di bawah AC. Jadinya, Bu Indah menyuruhku untuk pindah bangku.

“Kamu mau duduk di sebelah Reza atau di sebelah Vera?

Spontan, aku memperhatikan ruang kelasku dengan lebih teliti. Reza duduk di deretan paling depan. Mejanya juga berhadapan langsung dengan meja guru. Duduk di sebelahnya berarti malapetaka buatku.

“Saya di sebelahnya Vera aja, Bu,” kataku tanpa pikir panjang.

“Ya, sudah. Kamu duduk di sana saja.”

Aku menjatuhkan pilihanku pada Vera semata-mata karena posisinya yang berada di deretan paling belakang.

Aku pun melangkah ke sebelah gadis populer yang dianggap sebagai ketua geng di kelasku. Dia bahkan tersenyum kepadaku sewaktu aku akan duduk di sebelahnya. Kukira semuanya akan lancar sampai AC di kelasku selesai diperbaiki.

Aku segera berusaha meraih ponsel yang ada dalam tasku. Kurogoh saku kecil, tempat dimana aku meletakkan handphone. Tidak ada. Kemudian aku mencari di saku seragamku. Nihil juga. Aku jadi berpikir apa handphone-ku ketinggalan di sekolah? Tapi seingatku, tidak. Tadi setelah istirahat kedua, aku masih sempat mengeceknya sebentar.

Tiba-tiba, entah bagaimana aku merasa yakin kalau Vera yang mengambil handphone-ku. Pantas saja dia tadi tidak ikut istirahat. Padahal biasanya Geng Celebrity paling suka sok nampang di kantin. Pasti waktu itu dia mengambil HP-ku. Tadi memang HP-ku sengaja kutinggalkan di kelas karena kupikir baterainya sudah mau habis. Setelah istirahat aku melihat Vera asyik mengutak-atik Blackberry di tangannya. Tapi kukira waktu itu yang dipegang bukan HP-ku.

Ah, sialan!

Ketika aku sedang bingung memikirkan jalan keluar untuk menghubungi Diko, tiba-tiba kakakku mengetuk pintu kamar.

“Kamu mau ikut jalan ke mall?” tanya kakakku.

“Jam berapa?”

“Bentar lagi.”

“Nggak, ah. Aku masih ada tugas yang harus dikerjain,” kataku beralasan.

Sebetulnya aku pengen ikut kakakku pergi. Tapi biasanya kita selalu berpencar waktu sampai di sana. Nanti kalau waktunya mau pulang baru BBM-an lagi. Tapi sekarang aku sedang kehilangan handphone-ku. Aku juga nggak mungkin cerita ke kakakku kalau HP-ku sepertinya diambil teman sebangkuku.

Saat ini aku merasa terjepit. Aku tidak bisa menghubungi pacarku. Diko bukan cowok yang aktif di Twitter atau Facebook. Jadi meninggalkan pesan di sana juga akan sia-sia saja. Satu-satunya jalan bagiku sekarang hanyalah menunggu Diko meneleponku nanti malam. Itu sepertinya masih beberapa jam lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun